***
Bocah perempuan itu duduk menangis seharian. Tak ada yang mampu menyuruhnya berhenti hingga hari beranjak gelap. Sia-sia saja pengasuhnya berjuang keras membujuk dengan berbagai cara. Sejak ayah merenggutnya dari dekapan ibunya hari itu, keceriaannya sirna. Ayah jarang pulang. Jika pulang pun, ayah tak pernah bicara dengannya. Saat ia menyapa, ayah malah menghardiknya. Ia tak punya teman bicara di rumah luas itu. Orang-orang di rumah itu memperlakukannya seperti patung.
“Kenapa menangis, Sayang?”
Bocah perempuan itu menghentikan tangisnya. Suara itu terdengar asing baginya. “Kau siapa?” tanyanya sambil mengerjap-ngerjapkan mata.
Lelaki di hadapannya berjongkok lalu menatapnya. “Panggil aku Mang Dirman. Aku tukang kebun baru di sini. Oh ya, aku punya hadiah untukmu.” Lelaki itu merogoh sesuatu dari saku celananya. “Kau suka permen?”
Senyum bocah perempuan itu mengembang. Ibu sering membelikannya permen seperti itu. Permen tangkai besar berwarna pelangi. Ia akan menghabiskan permen itu dalam pangkuan ibu sambil mendengarkan dongeng tentang seorang putri jelita. Ibu sangat pandai mendongeng. Ah... ia sangat merindukan ibu.
“Jangan bersedih,” lelaki itu membelai-belai pipinya, “yuk, main dengan Mang Dirman.” Lelaki itu menggendongnya berputar-putar layaknya baling-baling helikopter. Persis seperti saat ayahnya mengajak bermain dulu.
“Pelan-pelan! Aku takut jatuh, Mang!” jerit bocah perempuan itu sambil tertawa kegirangan.
“Nggak akan, percaya deh sama Mang Dirman.”
Lelaki itu terus berputar-putar hingga bocah perempuan itu merasa pusing. Lelaki itu perlahan menuju sebuah kamar sambil terus berputar. Lalu pintu tertutup. Beberapa saat kemudian, bocah perempuan itu keluar sambil merintih kesakitan. Permen tangkai berwarna pelangi dalam genggamannya masih utuh, sama sekali belum tersentuh.
***