Bunyi jendela yang berderit-derit itu sungguh riuh. Seperti orkestra yang digelar di tengah kesunyian malam. Bila angin sedang tak bersahabat dan menampar-nampar daun jendela tanpa jeda, bunyi yang ditimbulkan sungguh meresahkan dan mengganggu ketenangan warga sekitar. Hal itu telah menjadi bahan perbincangan di seluruh desa.
“Apalah dayaku. Aku cuma perempuan tua yang hidup sendirian,” bela Salimah pada para tetangga yang mengeluhkan jendela kayu di ruang muka rumah tuanya yang reyot.
Jawaban perempuan itu membuat orang-orang berubah iba. Benar adanya, Salimah memang sebatang kara di rumah tua peninggalan suaminya itu. Anak tiada, suami telah berpulang belasan tahun yang silam. Perempuan tua pendiam itu menggantungkan hidupnya dari membantu apa saja yang ia mampu. Menjaga anak, membantu persiapan hajatan, menunggui rumah yang ditinggal penghuninya, atau yang lainnya. Tak jarang ia menerima beras, gula, lauk-pauk atau apa saja dari para tetangga yang bersimpati.
Sebenarnya, ada orang yang menawarkan bantuan untuk memperbaiki jendela itu. Namun selalu ada saja kendala. Salimah mendadak sakit atau pergi mengunjungi kenalannya di kampung sebelah, hingga perempuan tua itu beralasan telinga tuanya tak tahan mendengar bisingnya suara palu. Lama-kelamaan, tetangganya jenuh menawarkan bantuan. Keriuhan daun jendela yang semula dianggap mengganggu, perlahan-lahan mulai terlupakan.
Hingga suatu kali, kerabat jauh tetangganya datang berkunjung ke kampung mereka. Hari telah larut malam. Kampung lengang. Gerimis turun sedari petang. Saat berjalan melintasi rumah Salimah, ia mendengar suara riuh. Orang itu kecut bukan kepalang. Saat menoleh mencari-cari sumber suara, ekor matanya menangkap bayangan putih melayang ke tanah. Orang itu berteriak-teriak ketakutan lalu berlari pontang-panting ke rumah kerabatnya. Ketika pintu terbuka, pingsanlah ia. Seisi kampung pun gempar.
Keesokan harinya, para tetangga beramai-ramai mendatangi Salimah. Mereka menuntut jendela tua itu segera diperbaiki. Bagaimanapun caranya. Sia-saja perempuan tua itu membela diri, mengatakan bahwa bayangan putih itu tak lain seprai yang lupa diangkat dari jemuran. Melihat kemarahan orang-orang, Salimah tak mampu berkata-kata. Perempuan tua itu membisu ketakutan. Beberapa di antara mereka segera pulang untuk mengambil peralatan bertukang. Kemudian, kegaduhan pun terdengar di rumah Salimah.
Salimah hanya berdiri mematung saat melihat jendelanya diperbaiki. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya dan tak seorang pun yang bertanya kepadanya. Semua mata tertuju ke jendela tua. Jendela itu dibuka, lalu dipasang kembali dengan engsel baru yang mengilat. Celah-celah daun jendela yang longgar dirapatkan. Jendela yang semula berwarna abu-abu pudar, kini berubah cokelat terang. Para tetangga tersenyum puas memandangi jendela itu.
“Mulai sekarang, kita takkan terganggu lagi dengan suara jendela ini,” ujar seseorang.
“Juga takkan ada kejadian seperti tadi malam, “ imbuh yang lain.
Mereka mengangguk-angguk. Sebuah masalah besar telah terpecahkan. Kampung terbebas dari gangguan jendela tua milik Salimah. Sekumpulan wajah memancarkan rasa bangga dan puas. Mereka telah menolong seorang perempuan tua. Sementara itu, sepasang mata diam-diam berlinang.
***
Jendela tua di ruang muka Salimah segera terlupakan. Tapi sejak kejadian itu, perempuan tua itu semakin jarang bergaul dengan para tetangga. Lebih banyak berkurung di dalam rumah. Sesekali, perempuan tua itu keluar rumah sekadar membeli keperluan dapur. Selebihnya, sosoknya nyaris tak pernah terlihat. Tak ada yang tahu dari mana perempuan tua itu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Mungkin pula tak ada yang peduli. Hingga suatu hari, para tetangga dikejutkan oleh kelakuan Salimah yang ganjil. Mereka mendapati perempuan tua itu sedang memukul-mukul jendelanya dengan sebatang kayu.
“Hei, sedang apa perempuan itu?” Para tetangga bertanya keheranan satu sama lain. Keheranan itu berubah menjadi kegeraman luar biasa. Mereka telah bersusah-payah memperbaiki jendela tua itu. Mengapa sekarang Salimah ingin merusaknya?
Langkah-langkah cepat mendatangi Salimah. Wajah-wajah marah mengeliling perempuan tua itu. Bisik-bisik menimbulkan suara riuh. Namun perempuan tua itu seolah tak menyadarinya. Lengannya terus mengayunkan kayu ke arah jendela. Suara dug dug dug terdengar lemah. Menandakan tenaganya yang tak seberapa.
“Sadarlah, Nek! Kamu akan merusak jendela itu!” cegah seseorang.
Para tetangga ramai-ramai mengiyakan. Mereka berseru-seru mencegah Salimah. Melarangnya. Memarahinya. Hingga suara lemah perempuan tua itu membuat mereka semua tercengang.
“Ini rumahku. Mengapa aku tak boleh melakukannya?” ucap Salimah bergetar.
Pipi-pipi mereka memanas. Malu bercampur marah. Perempuan tua yang dikenal pendiam itu menjawab kemarahan mereka dengan telak. Kalimat Salimah sepenuhnya benar. Itu rumah miliknya. Mereka tak bisa melarangnya.
“Sudah, kita pergi saja! Dasar, tak tahu ditolong,” gerutu seorang perempuan tak sabar. Perempuan itu berbalik, lalu meninggalkan rumah Salimah. Para tetangga satu persatu mengikuti perempuan itu, meninggalkan Salimah seorang diri.
“Akhirnya mereka semua pergi,” desah Salimah lega. Lengan dan tubuhnya terasa penat. Kayu dalam genggamannya merosot dan jatuh di tanah. Tubuh tuanya bersandar pada dinding kayu. “Seharusnya, mereka tak pernah memperbaiki jendela itu,” keluhnya sedih. Sepasang matanya kuyu, dihiasi oleh lingkaran hitam.
Hari-hari berikutnya, Salimah terus berjuang keras mengayunkan kayu ke jendela itu. Suara dug dug dug masih memancing perhatian tetangga. Membuat mereka kesal dan marah. Namun, tak ada yang dapat mereka lakukan. Kalimat Salimah telah menghalangi segala niat untuk mencegah perempuan tua itu. Mereka hanya bisa menonton perempuan tua itu melakukan aksinya. Hingga akhirnya, mereka bosan dan tak menghiraukan apa yang dilakukan perempuan tua itu.
***
Salimah hidup dalam dunianya sendiri. Ia ada, namun dilupakan. Perempuan tua itu keluar masuk hutan mencari makanan. Sungai tak luput dari upayanya bertahan hidup. Ia menggunakan kelambu bekas untuk menjaring ikan. Adakalanya perempuan tua itu terpeleset, lalu tubuh ringkihnya jatuh terhempas di bebatuan. Sakitnya bukan main. Tubuhnya seakan remuk. Saat itu terjadi, ia hanya mengelus dada. Air matanya meleleh. Salimah berusaha bangkit, meskipun harus merangkak dengan kaki dan tangannya. Mengeluh pun tiada guna, karena tak ada tempat mengadu.
Hari-hari terus bergulir. Suatu malam, hujan turun dengan derasnya. Kilat menyambar-nyambar dalam kegelapan. Angin bertiup kencang. Brakkk! Suara keras mengejutkan seisi desa. Desa mendadak gulita. Bau sangit santer tercium. Pintu-pintu terbuka. Warga ketakutan, namun penasaran dengan apa yang terjadi. Beberapa orang buru-buru keluar bertudung mantel, kain atau apa saja yang bisa digunakan melindungi diri dari derasnya hujan.
Mereka terperangah. Pohon besar tumbang melintang di jalan setapak memasuki desa dan mengenai tiang listrik. Percikan api terlihat di antara derasnya hujan. Pohon itu tak jauh dari rumah Salimah. Namun, ada hal lain yang lebih mengejutkan. Salimah terlihat berdiri menantang deru angin tepat di depan jendela ruang mukanya. Basah kuyup. Daun jendela memukul-mukul dengan suara riuh. Orang-orang terkesima. Bibir pucat Salimah tersenyum bahagia.
***
Tepian DanauMu, 22 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H