Salimah hidup dalam dunianya sendiri. Ia ada, namun dilupakan. Perempuan tua itu keluar masuk hutan mencari makanan. Sungai tak luput dari upayanya bertahan hidup. Ia menggunakan kelambu bekas untuk menjaring ikan. Adakalanya perempuan tua itu terpeleset, lalu tubuh ringkihnya jatuh terhempas di bebatuan. Sakitnya bukan main. Tubuhnya seakan remuk. Saat itu terjadi, ia hanya mengelus dada. Air matanya meleleh. Salimah berusaha bangkit, meskipun harus merangkak dengan kaki dan tangannya. Mengeluh pun tiada guna, karena tak ada tempat mengadu.
Hari-hari terus bergulir. Suatu malam, hujan turun dengan derasnya. Kilat menyambar-nyambar dalam kegelapan. Angin bertiup kencang. Brakkk! Suara keras mengejutkan seisi desa. Desa mendadak gulita. Bau sangit santer tercium. Pintu-pintu terbuka. Warga ketakutan, namun penasaran dengan apa yang terjadi. Beberapa orang buru-buru keluar bertudung mantel, kain atau apa saja yang bisa digunakan melindungi diri dari derasnya hujan.
Mereka terperangah. Pohon besar tumbang melintang di jalan setapak memasuki desa dan mengenai tiang listrik. Percikan api terlihat di antara derasnya hujan. Pohon itu tak jauh dari rumah Salimah. Namun, ada hal lain yang lebih mengejutkan. Salimah terlihat berdiri menantang deru angin tepat di depan jendela ruang mukanya. Basah kuyup. Daun jendela memukul-mukul dengan suara riuh. Orang-orang terkesima. Bibir pucat Salimah tersenyum bahagia.
***
Tepian DanauMu, 22 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H