Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Lampu-lampu Mulai Dipadamkan

17 Februari 2016   07:30 Diperbarui: 27 Desember 2016   17:00 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber ilustrasi: www.sekolahpramugari.sch.id"][/caption]

Ketika Lampu-lampu Mulai Dipadamkan

Ketika lampu-lampu mulai dipadamkan, Karin mulai mengeluh tentang banyak hal. Mulai dari posisi duduk yang tak nyaman, kegelapan yang dibencinya, hingga kapan penerbangan ini akan segera berakhir. Ia menceritakan bahwa ini adalah penerbangan pertama baginya. Sedapat mungkin aku mendengarkan keluhannya dan menunjukkan wajah penuh perhatian. Sama seperti beberapa tahun silam, ketika ia sering merengek dan memohon bantuanku untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah yang sulit dipahaminya.

“Kau bisa melihat kerlap-kerlip berwarna biru, merah dan oranye dari jendela,” saranku sambil menunjuk pada lampu-lampu di landasan pacu. “Mungkin itu akan membuat merasa lebih baik. Indah, bukan? Itulah sebabnya mengapa aku menyukai penerbangan terakhir di malam hari.”

Karin merengut dalam kegelapan. “Kau pasti sedang bercanda. Kau tak tahu, betapa leganya aku tak berada di tempatmu sekarang. Duduk di dekat jendela hanya akan membuatku semakin gugup.”

“Lihat saja, sebentar lagi kita akan terbang semakin tinggi. Kau akan menyukai cahaya yang membentuk garis-garis beragam bentuk dari atas sini,” jelasku padanya.

Tiada jawaban. Teman lamaku itu diam saja. Setelah lampu-lampu kembali dinyalakan, kutemukan wajahnya berubah pucat.

“Hei, ada apa denganmu?” tanyaku prihatin sambil menggosok-gosok bahunya.

“Perutku diserang rasa geli yang mengejutkan saat pesawat akan naik ketinggian. Telingaku juga berdengung,” keluhnya. Lalu ia mengoceh panjang pendek tentang kecemasannya.

Mendengar ocehannya aku tertawa. “Banyak orang yang mengalaminya. Setelah melalui banyak penerbangan, kau akan terbiasa dengan sendirinya,” kataku menenangkanmu.

Karin mencibir. “Kau bisa berkata begitu karena sering bepergian. Cerita tentang kesuksesanmu tadi benar-benar membuatku iri.”

“Suatu hari nanti, kau akan mengalaminya. Kau akan bepergian ke tempat-tempat jauh dan menceritakannya padaku,” hiburku.

“Sepertinya itu hampir tak mungkin. Kita ini berbeda. Aku bukanlah perempuan karir sepertimu. Teman lamamu ini cuma pengangguran yang hidup dari belas kasihan orangtua.”

”Jangan menduga-duga tentang hari esok,” sanggahku. “Tak ada yang pernah tahu jalan hidup seseorang.”

Karin menghela nafas panjang. Baru saja ia akan membuka mulut, pramugari mengulurkan kantung cokelat berisi roti dan segelas air mineral kepada masing-masing kami. Kebetulan, aku belum sempat makan apa-apa sejak siang tadi. Aku mengunyah dalam diam. Roti berpindah dengan cepat ke dalam perutku. Kuhirup air mineral dengan sedotan hingga tinggal separuh. Lumayan juga sekadar pengganjal perut.

“Rotinya cuma satu. Padahal aku masih lapar,” keluh Karin setelah menghabiskan roti miliknya. Ia memegangi perutnya.

“Sabarlah, penerbangan ini takkan lama,” hiburku menenangkannya. “Begitu tiba, kau bisa makan sepuasmu.”

Karin menarik nafas dan menoleh padaku. “Sungguh menyenangkan mendapatimu duduk di sebelahku.”

“Aku juga begitu. Lama sekali kita tak berjumpa.”

“Tak bisa kubayangkan harus melalui semua ini tanpa seseorang yang bisa diajak bicara.”

“Kau berkata seolah-olah kita akan mati dalam pesawat ini.”

“Jujur saja, memang itu yang kupikirkan.”

Tawaku nyaris meledak. Rupanya Karin masih suka melebih-lebihkan keadaan. “Sesekali berpikirlah positif,” saranku.

“Kau takkan mampu berpikir positif bila menjalani hidup sepertiku,” dengusnya.

“Hidupmu akan membaik, belum waktunya saja.”

“Bukan itu,” bantahnya tak mau kalah, “sejak dulu, kau memang selalu beruntung dariku,” katanya berapi-api.

“Beruntung?”

“Kau cantik, cerdas, dan sangat populer di kampus kita. Semua orang menyukaimu. Berbeda denganku. Mungkin itu sebabnya, mengapa nasib kita bagai langit dan bumi.”

“Astaga, Karin! Jadi selama ini kau berpikir begitu?” Aku menggeleng-gelengkan kepala karena tak habis pikir. “Sepertinya kau harus membuang semua cermin yang ada di rumahmu.”

“Mengapa kau berkata begitu?”

“Kau tak menyadari betapa menariknya dirimu. Berhentilah mengeluh. Kau harus lebih banyak tersenyum.” Karin memiliki sepasang mata bulat, hidung indah dan senyum yang menawan. Jika wajahnya tak selalu muram, ia akan menjadi gadis yang disukai oleh banyak orang.

Karin terdiam sejenak lalu berkata, “Kau cuma sedang menghiburku.”

“Tidak, aku serius dengan kata-kataku.”

Pembicaraan kami terputus. Seorang pramugari menawarkan barang dagangan dalam sebuah troli. Karin tertarik melihat-lihat aksesoris. Kutawarkan untuk membelikannya sebuah dan mengatakan padanya bahwa itu adalah hadiah atas pertemuan kami hari ini. Teman lamaku itu kegirangan dan mengucapkan terima kasih berkali-kali padaku. Ia juga mendoakan agar karirku semakin sukses.

Kami masih berbincang banyak hal setelahnya. Tentang teman-teman dari masa lalu dan hidup yang kami lalui. Karin bercerita bahwa lamaran pekerjaannya ditolak berkali-kali di kota asal kami. Ia menuju kota yang sama denganku untuk bekerja di perusahaan milik kerabat jauhnya. Itu artinya, kami akan tinggal dalam satu kota. Karin memintaku berjanji agar kelak sering menemuinya. Ia beralasan, cuma aku satu-satunya teman yang dimilikinya di kota itu. Aku mengiyakan meski tahu bahwa alasan sebenarnya adalah ia membutuhkan sesorang untuk mengeluhkan hidupnya.

Penerbangan terasa begitu singkat karena kami terus berbincang. Ketika pesawat akan mendarat, lampu-lampu mulai dipadamkan. Karin mengeluh karena mencemaskan pesawat takkan mendarat dengan sempurna atau bisa jadi salah satu roda terlepas saat menyentuh landasan. Kurasakan ia mencengkeram tangan kananku kuat-kuat dalam kegelapan. Teman lamaku itu benar-benar ketakutan.

Kali ini aku hanya diam dan memandang keluar lewat jendela. Kota besar yang menanti kedatanganku terlihat gemerlap sekaligus memilukan bagiku. Di kota inilah aku akan menikah dengan lelaki pilihan orangtuaku. Setelah bertahun-tahun menganggur selepas kuliah dan tak memiliki calon suami, aku benar-benar tak punya pilihan lain. Selama itu pula, aku mengucilkan diri dari teman-teman di kota asalku─termasuk Karin. Aku tak ingin ada yang tahu, bahwa gadis populer di kampus dulu kini hanyalah seorang pengangguran. Cerita kesuksesanku padanya sebelum lampu-lampu dipadamkan jelang keberangkatan, semua itu adalah dusta.

Roda-roda pesawat mulai menyentuh landasan. Ketika Karin memekik tertahan, aku memejamkan mata dan menarik nafas kuat-kuat. Cemas. Sesungguhnya, ini adalah penerbangan pertamaku. Sama seperti Karin.

***

Jakarta, 17 Februari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun