Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Lampu-lampu Mulai Dipadamkan

17 Februari 2016   07:30 Diperbarui: 27 Desember 2016   17:00 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembicaraan kami terputus. Seorang pramugari menawarkan barang dagangan dalam sebuah troli. Karin tertarik melihat-lihat aksesoris. Kutawarkan untuk membelikannya sebuah dan mengatakan padanya bahwa itu adalah hadiah atas pertemuan kami hari ini. Teman lamaku itu kegirangan dan mengucapkan terima kasih berkali-kali padaku. Ia juga mendoakan agar karirku semakin sukses.

Kami masih berbincang banyak hal setelahnya. Tentang teman-teman dari masa lalu dan hidup yang kami lalui. Karin bercerita bahwa lamaran pekerjaannya ditolak berkali-kali di kota asal kami. Ia menuju kota yang sama denganku untuk bekerja di perusahaan milik kerabat jauhnya. Itu artinya, kami akan tinggal dalam satu kota. Karin memintaku berjanji agar kelak sering menemuinya. Ia beralasan, cuma aku satu-satunya teman yang dimilikinya di kota itu. Aku mengiyakan meski tahu bahwa alasan sebenarnya adalah ia membutuhkan sesorang untuk mengeluhkan hidupnya.

Penerbangan terasa begitu singkat karena kami terus berbincang. Ketika pesawat akan mendarat, lampu-lampu mulai dipadamkan. Karin mengeluh karena mencemaskan pesawat takkan mendarat dengan sempurna atau bisa jadi salah satu roda terlepas saat menyentuh landasan. Kurasakan ia mencengkeram tangan kananku kuat-kuat dalam kegelapan. Teman lamaku itu benar-benar ketakutan.

Kali ini aku hanya diam dan memandang keluar lewat jendela. Kota besar yang menanti kedatanganku terlihat gemerlap sekaligus memilukan bagiku. Di kota inilah aku akan menikah dengan lelaki pilihan orangtuaku. Setelah bertahun-tahun menganggur selepas kuliah dan tak memiliki calon suami, aku benar-benar tak punya pilihan lain. Selama itu pula, aku mengucilkan diri dari teman-teman di kota asalku─termasuk Karin. Aku tak ingin ada yang tahu, bahwa gadis populer di kampus dulu kini hanyalah seorang pengangguran. Cerita kesuksesanku padanya sebelum lampu-lampu dipadamkan jelang keberangkatan, semua itu adalah dusta.

Roda-roda pesawat mulai menyentuh landasan. Ketika Karin memekik tertahan, aku memejamkan mata dan menarik nafas kuat-kuat. Cemas. Sesungguhnya, ini adalah penerbangan pertamaku. Sama seperti Karin.

***

Jakarta, 17 Februari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun