Suaminya menatapnya datar. “Kau nggak usah banyak tanya. Ini,” suaminya meletakkan segepok uang ke tangannya, “pakailah sesukamu.” Lelaki itu masuk ke dalam kamar. “Jangan ganggu aku. Aku mau istirahat!” serunya dari balik tirai.
Mak Ratap serasa mendapat durian runtuh. Jumlah uang itu sungguh banyak. Cukup untuk melunasi sewa rumah. Rejeki tak terduga, pikirnya girang. Ia bergegas membawa si bungsu berobat. Saat melewati rumah Jeng Ida, ia sengaja tak menoleh meski namanya dipanggil berkali-kali. Berani sekali perempuan itu tersenyum menggoda pada suaminya.
***
Pagi ini berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Mak Ratap tak lagi mengeluh saat hari baru saja dimulai. Lorong terasa sunyi tanpa keluhannya. Para tetangga mulai bertanya satu sama lain, apa yang telah terjadi pada perempuan itu?
Tak ada yang tahu, Mak Ratap sedang termenung di kamar mandi yang sempit. Menatap seonggok besar cucian di depannya dengan pandangan kosong. Percakapan dengan suaminya tadi malam kembali terngiang.
“Apa pedulimu itu noda lipstik siapa? Yang penting, aku sudah memberimu banyak uang! Itu kan, yang selalu kau keluhkan?”
Mak Ratap terkesima. Kemeja di genggamannya jatuh ke lantai.
“Jadi, berhentilah banyak tanya! Pakai saja uang itu sesukamu! Minggu depan, aku pergi lagi. Tenang saja, aku akan memberimu lebih banyak uang!”
Sejak malam itu, Mak Ratap tak pernah lagi bisa mengeluh.
***
Tepian DanauMu, 4 Februari 2016