***
“Mak, kau beruntung. Suamimu itu loh… ganteng!” Jeng Ida memulai gunjingan pada pagi berikutnya, ketika ibu-ibu lorong sedang mengerubuti gerobak sayur Mang Parmin.
“Maksudnya, Jeng? Kau mau bilang, percuma punya suami ganteng tapi nggak pintar cari duit? Begitu?” tuding Mak Ratap berang. Ia membanting seikat bayam di tangannya. Ibu-ibu lainnya melongo keheranan.
“Loh, kok jadi sensitif? Biasanya kan Mak Ratap yang selalu ngobrolin para suami. Iya, kan?” Jeng Ida nampak kebingungan. Perkataannya segera diiyakan oleh ibu-ibu lainnya.
Mak Ratap tercenung. Benar juga. Ada apa dengannya?
“Apa yang dibilang Jeng Ida benar, Mak. Suamimu itu memang paling ganteng di lorong sini. Kau harusnya bangga!” timpal seorang ibu lainnya.
“Maaf… aku cuma sedang pusing.” Mak Ratap memijat-mijat pelipisnya. “Kalian tahu sendiri, sudah seminggu ini suamiku jadi pengangguran. Biaya yang mau dibayar semakin bertumpuk. Kepalaku rasanya mau pecah…”
“Sabar, Mak,” hibur Jeng Ida. Perempuan itu menepuk-nepuk pundak Mak Ratap. “Doakan saja suamimu segera mendapat pekerjaan baru. Lelaki seperti dia, pasti takkan sulit mencari pekerjaan.”
“Mudah-mudahan, Jeng.”
Pagi itu, Mak Ratap kehilangan selera untuk mengobrol dengan ibu-ibu lorong. Setelah membeli seikat bayam dan tempe, ia segera masuk rumah. Ketika melihat persediaan uang di dalam kaleng bekas, ia terhenyak. Tinggal beberapa puluh ribu rupiah saja. Sambil mengerjakan pekerjaan rumah, keluh kesah mulai meluncur tak henti dari bibirnya.
***