Ayah selalu setia menanti senja. Kala senja mulai turun, ayah akan berdiri di bibir karang menatap laut lepas. Bisu. Larut merenungi senja yang sedang mempertontonkan kemegahannya. Sepasang mata tuanya akan berkaca-kaca. Seolah meresapi kenangan yang tak dapat diraihnya lagi. Mungkin pula menyesali masa lalu yang takkan mampu untuk dirubah lagi. Sejujurnya, aku tak tahu pasti.
Suatu kali, aku pernah menanyakan padanya, mengapa ayah begitu setia menanti senja. Tapi beliau hanya tersenyum. Lalu aku menanyakan lagi, untuk apa ia menghabiskan waktu menikmati senja-senja itu, lagi-lagi hanya senyum yang kuperoleh. Ayah menepuk pundakku dan berlalu. Membiarkan rasa ingin tahuku menguap tanpa jawaban. Sejak itu pula, aku tak pernah ingin tahu alasan ayah. Hal itu seolah kehilangan daya tarik untuk ditanyakan. Ayah dan senja, aku mencoba menganggapnya sebagai dua hal yang tak terpisahkan.
Tumbuh dewasa bagiku adalah mereguk sunyi. Hanya ada aku dan ayah. Rumah kami yang terletak di pinggir pantai jauh dari keramaian. Sesekali pengantar surat atau yang lainnya mengunjungi kami. Tapi kepada mereka, kami hanya bertegur sapa seadanya. Setelah mereka pergi, aku kembali merasa terasing. Genuruh ombak, suara burung camar di kejauhan, dan pintu ruang kerja ayah yang selalu tertutup, menjadi bagian dari keseharianku. Selain sekolah menengah atas yang kuselesaikan dua tahun lalu, aku benar-benar tak memiliki dunia apa pun lagi.
Hingga suatu hari, seorang perempuan bertamu ke rumah kami. Perempuan itu kenalan ayah. Sepintas aku mendengar percakapannya dengan ayah. Karissa─nama perempuan itu, ingin belajar menulis novel dari ayah. Sebelumnya, beberapa orang pernah datang ke rumah kami dengan niat yang sama. Tapi seingatku, baru kali ini ayah menerima seorang “murid” perempuan.
***
Sejak perempuan itu hadir dalam kehidupan kami, rumah tak lagi sepi. Ayah lebih sering berada di luar ruang kerjanya. Sesekali aku mendengarnya tertawa ketika berbincang dengan Karissa. Sesuatu yang dulu jarang dilakukannya. Setiap hari, perempuan itu mengusir kesunyian dari duniaku dan ayah. Kedatangannya mengubah banyak hal bagi kami berdua. Aku sendiri tak tahu harus bersikap bagaimana. Meski setidaknya, kehadiran perempuan itu memberikan warna lain dalam kehidupanku. Kupikir, aku harus berterima kasih untuk itu.
Hingga suatu hari, aku mendapati aneka hidangan berlimpah di meja makan saat makan malam tiba. Belum pernah ada hidangan sebanyak itu di rumah kami. Aku menatap ayah dan perempuan itu sambil bertanya-tanya dalam hati.
“Jangan heran. Ini untuk merayakan terbitnya novel perdana Karissa yang sukses. Kamu harus mengucapkan selamat untuknya.” Ayah memandang perempuan yang duduk di sampingnya sambil tersenyum bangga.
“Selamat, Tante,” kataku mengulurkan tangan. Cuma itu yang bisa kukatakan. Aku memang tak bisa bersikap lebih hangat. Mungkin karena aku dan ayah selalu terbiasa berbincang demikian.
“Terimakasih, Dwi. Kamu juga harus mulai belajar menulis dari ayahmu,” kedip perempuan itu senang.
Kuanggukkan kepala sekilas. Aku tak tertarik menulis. Suatu hari kelak, aku akan ikut berlayar dengan kapal-kapal besar melintasi lautan. Melihat negeri-negeri asing yang belum pernah kusinggahi dan berada sejauh mungkin dari dunia sunyiku di tepi pantai ini. Tentu saja, aku tak pernah menceritakan keinginan itu pada ayah. Aku tak ingin membuatnya berpikir, bahwa aku berniat meninggalkannya di sini sendirian.
Sepanjang makan malam berlangsung, tak henti-hentinya ayah tersenyum. Terutama ketika perempuan itu menuangkannya segelas air dan menyodorkan makanan ke hadapannya. Senyumku turut merekah melihat semua itu. Baru kusadari, kehadiran perempuan itu telah membuat ayah tak lagi setia menanti senja.
***
Sejak malam itu, sosok Karissa seolah menghilang dari duniaku dan ayah. Lenyap. Perempuan itu tak pernah lagi mengunjungi kami. Pintu ruang kerja ayah kembali tertutup rapat. Ayah kembali menenggelamkan dirinya dalam lembar-lembar yang entah kapan akan berakhir. Lalu memulai lagi dengan lembar baru yang semakin menenggelamkannya dalam dunianya. Tembok kesunyian kembali mengelilingiku.
Pada suatu senja, aku mendapati ayah berdiri di bibir karang. Bisu. Sepasang mata tuanya berkaca-kaca. Kupikir, ayah sedih karena ditinggalkan perempuan itu. Aku ingin menghiburnya, karena itu aku berkata, “Jangan sedih, Ayah. Masih ada aku,” hiburku kaku.
Ayah memandang lurus ke laut lepas. “Kamu masih ingin tahu mengapa Ayah selalu setia menanti senja?”
“Jika tak ingin, Ayah tak harus menceritakannya.”
“Maaf, baru menceritakannya padamu. Dulu, seseorang meninggalkan kita setelah sukses besar dengan novel yang ditulisnya. Sama seperti Karissa,” bisik ayah tersendat. “Dia ibumu.”
Bibirku terkunci. Setetes air mata jatuh menyusuri pipiku. Ketika ayah berpaling padaku, aku melihat senja di mata ayah.
***
Tepian DanauMu, 12 November 2015
Catatan :
- Tulisan ini dalam rangka memperingati Hari Ayah Nasional
- Copas tulisan ini harus menyertakan URL postingan ini
- Sumber ilustrasi di SINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H