Sepanjang makan malam berlangsung, tak henti-hentinya ayah tersenyum. Terutama ketika perempuan itu menuangkannya segelas air dan menyodorkan makanan ke hadapannya. Senyumku turut merekah melihat semua itu. Baru kusadari, kehadiran perempuan itu telah membuat ayah tak lagi setia menanti senja.
***
Sejak malam itu, sosok Karissa seolah menghilang dari duniaku dan ayah. Lenyap. Perempuan itu tak pernah lagi mengunjungi kami. Pintu ruang kerja ayah kembali tertutup rapat. Ayah kembali menenggelamkan dirinya dalam lembar-lembar yang entah kapan akan berakhir. Lalu memulai lagi dengan lembar baru yang semakin menenggelamkannya dalam dunianya. Tembok kesunyian kembali mengelilingiku.
Pada suatu senja, aku mendapati ayah berdiri di bibir karang. Bisu. Sepasang mata tuanya berkaca-kaca. Kupikir, ayah sedih karena ditinggalkan perempuan itu. Aku ingin menghiburnya, karena itu aku berkata, “Jangan sedih, Ayah. Masih ada aku,” hiburku kaku.
Ayah memandang lurus ke laut lepas. “Kamu masih ingin tahu mengapa Ayah selalu setia menanti senja?”
“Jika tak ingin, Ayah tak harus menceritakannya.”
“Maaf, baru menceritakannya padamu. Dulu, seseorang meninggalkan kita setelah sukses besar dengan novel yang ditulisnya. Sama seperti Karissa,” bisik ayah tersendat. “Dia ibumu.”
Bibirku terkunci. Setetes air mata jatuh menyusuri pipiku. Ketika ayah berpaling padaku, aku melihat senja di mata ayah.
***
Tepian DanauMu, 12 November 2015