Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Perempuan Berselubung Kabut

18 Oktober 2015   15:51 Diperbarui: 18 Oktober 2015   20:49 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sanalah perempuan itu bersemedi. Di bawah pohon rindang yang terletak di ujung desa. Perempuan berselubung kabut, demikianlah orang-orang desa memanggilnya. Saat fajar tiba, kabut tipis mulai menyelubunginya. Hal itu terus berlangsung hingga tengah malam. Menimbulkan suasana mencekam bagi siapa pun yang melintasinya.

Semasa kanak-kanak, aku pernah menanyakan pada ayah, mengapa perempuan itu selalu duduk bersila di bawah pohon tertua di desa kami. Ayah mengatakan, perempuan itu berada di sana karena orang-orang desa takut padanya. Perempuan itu memilih menyepi agar penduduk desa tak lagi gelisah karena kehadirannya. Tua-tua desa melarang siapa pun mendekatinya. Meskipun sekadar menyapanya. Tapi itu tak berlaku untukku. Aku telanjur iba dengan kehidupannya yang sebatang kara.

Menurutku, perempuan muda itu adalah perempuan tercantik di desa kami. Kusebut muda, karena tahun-tahun yang berlalu tak meninggalkan jejak pada parasnya yang jelita. Bila berlama-lama memandangnya, pesonanya akan semakin memikat hati. Malangnya, aku jatuh dalam pesona itu tanpa sempat menghindarinya.

“Kamu tak tahu apa yang kamu katakan.” Itulah jawaban perempuan itu saat aku mengutarakan perasaanku padanya. “Seisi desa akan menghakimimu. Kita berdua akan diusir dari sini.”

“Lalu kamu takut?” Kutatap kedua bola matanya. “Cinta selalu butuh pengorbanan.”

“Aku tak punya tempat untuk pergi. Orang-orang akan selalu ketakutan melihatku.”

“Jangan khawatir, aku akan selalu berada di sampingmu.”

“Mengatakan tak semudah menjalaninya. Kamu masih memiliki keluarga. Mereka takkan merelakanmu. Sedangkan aku? Aku ini sebatang kara.”

“Mulai sekarang, akulah yang akan menjadi keluargamu.”

Perempuan itu menarik nafas panjang. “Beri aku waktu untuk berpikir. Sebaiknya, kamu pertimbangkan kembali keadaanku sebelum memutuskan.”

“Aku menerimamu apa adanya. Bagiku, kabut yang menyelubungimu adalah suatu keindahan,” ucapku sambil menatapnya lembut.

“Benarkah?” ucapnya lirih.

Kuanggukkan kepala.

“Datanglah dua hari lagi, aku akan memberitahumu.”

Lalu kami berdua membisu. Batinku mengatakan, hati perempuan itu sudah menjadi milikku.

***

Malam ini kami akan pergi dari desa. Kemarin malam, perempuan itu sudah menyatakan kesediaannya. Tak ada pilihan lain. Kami harus pergi sejauh mungkin untuk menghindari kemarahan tua-tua desa dan keluargaku. Cinta membuat kami memilih pergi.

Malam itu, aku baru saja menyelinap keluar dari rumah. Tiba-tiba suara kentungan terdengar riuh. Pertanda bahaya telah terjadi. Orang-orang berlarian tak tentu arah. Panik. Nyala obor memenuhi desa. Perempuan itu. Aku harus segera menemukannya.

Susah payah aku berlari menerobos orang-orang menuju ujung desa. Kabut tebal menghalangi pandanganku. Semakin mendekati ujung desa, kabut itu semakin tebal. Bergulung-gulung. Seolah ingin melahapku. Tapi, aku tak boleh menyerah. Malam ini seharusnya menjadi malam paling bahagia dalam hidupku.

Perempuan itu masih di sana. Terkulai, nyaris kehilangan nyawa. Aku ingin membopongnya pergi. Tapi perempuan itu mencegahku.

“Jangan, pergilah dari sini.”

“Tidak, kita harus pergi bersama-sama,” bantahku.

Perempuan itu terbatuk. “Kabutku tak mampu menghalangi kabut yang datang mengurung desa ini. Aku telah kalah...”

“Itu bukan masalah. Kita bisa pergi dari sini,” bujukku.

“Kamu tak mengerti,” bisiknya. “Untuk itulah aku ada. Maafkan aku, aku harus pergi...”

“Tidak, jangan pergi...” ratapku.

Perempuan itu menatapku sambil tersenyum. Lalu perlahan-lahan kedua kelopak matanya terpejam. Perempuan itu pergi dalam pelukanku. Suara orang-orang dan kentungan masih terdengar ramai. Tapi, kepergian perempuan itu telah meninggalkan kesunyian abadi dalam hatiku...

***

Tepian DanauMu, 18 Oktober 2015

Catatan :

  • Cerita ini merupakan bentuk keprihatinan terhadap kabut asap Sumatera yang terus berlangsung hingga saat ini
  • Copas tulisan ini harus menyertakan URL postingan ini
  • Sumber ilustrasi di SINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun