***
Hari ini hujan kembali menghampiriku di sudut paling tepi. Muncul tetiba dari larik puisiku yang sunyi. Lagi-lagi kau berdiri di sana. Bersikukuh, seakan hujan hari ini adalah hujan yang terakhir kali.
"Mengapa kau sangat menyukai hujan?" tanyaku ingin tahu.
"Suatu hari kau juga akan menyukainya," ucapmu sambil menari layaknya di atas panggung.
"Ah, yang kutahu, hujan memang cuma hujan," kilahku. "Seingatku, hujan tetap saja hanya hujan. Dengan atau tanpa hujan, bukankah waktu terus saja akan berputar?"
"Itu karena kau tak ingin memiliki kenangan tentangnya," bisikmu.
Aku melangkah menghampirimu. Membiarkan tubuhku basah bersamamu. "Ini hujan," ucapku seraya memetik sebutir hujan. "Lalu... kenangan apa yang sudah terperangkap di dalamnya? Haruskah aku memilih butiran paling kilau dan membingkainya untuk memukaumu?"
Kau menatapku. "Lalu, salahkah hujan?" sendumu. "Kau acapkali menuliskan puisi tentang hujan yang membuatku heran. Lariknya melulu cemburu bermazhabkan kekosongan," lanjutmu pilu.
Diam-diam kutatap hujan yang menggumpal di matamu. Lekat. Erat. Kurasakan hujan yang sama di pendar pandangku. "Maafkan aku karena berulangkali mengingkari hatiku."
Sepasang lenganmu menggelayuti pundakku. "Haruskah kau terus mengingkarinya?"
Kubelai rambutmu. "Dia hadir lebih dulu," ucapku tertunduk kalah.