Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jika Aku Bukan Dia [Tujuh-Rahasia Brian]

17 September 2015   10:07 Diperbarui: 8 September 2016   06:05 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

TUJUH

Rahasia Brian

 

“Bagaimana menurutmu?” Janne mematut-matut dirinya di depan cermin lalu berputar ke arah Cora yang sedang mengamatinya. “Ini bagus tidak?” Mereka berdua sedang berada dalam kamar luas milik putri bungsu keluarga Howitt itu.

Cora mengacungkan jempolnya sekilas. Pandangannya beralih pada empat lemari besar yang mendominasi kamar itu. Tak heran bila mama sering mengatakan bahwa separuh kamar Janne adalah lemari pakaian, batinnya. Meski begitu, adiknya itu masih saja mengeluh kekurangan tempat untuk menaruh pakaian dan pernak-pernik fashion miliknya.

“Kamu yakin?”

“Ya, itu cocok untukmu.” Juga lima dress sebelumnya, tambah Cora dalam hati. Padahal, hampir semua pakaian akan terlihat menarik bila Janne yang mengenakannya. Cora memandang putus asa pada tumpukan pakaian yang tersampir di sebuah bangku. Berharap agar dress yang melekat di tubuh gadis itu sekarang adalah pilihan terakhirnya.

 “Sungguh?” Sepasang mata Janne berbinar. “Semoga saja Brian suka.” Lalu terdengar runtutan pujian dari bibir gadis itu. Brian yang menawan, Brian yang pemurah, dan segala sesuatu yang menarik tentang lelaki itu. Sama seperti saat menjalin hubungan dengan lelaki-lelaki lain sebelumnya, cinta selalu membuat gadis jelita itu bersemangat.

Jamuan bisnis waktu itu rupanya meninggalkan kesan mendalam bagi keduanya. Brian kerap menghubungi Janne. Bahkan putra bungsu keluarga Barman itu sudah bertandang ke kediaman keluarga Howitt. Terlebih, papa dan mama jelas-jelas menunjukkan dukungan mereka. Dan malam ini, Brian akan mengajak Janne makan malam berdua untuk pertamakalinya.

Sambil mengamati Janne yang sedang merias wajahnya, Cora memikirkan sesuatu. Kapan aku akan mengalami saat-saat seperti ini? Pasti menyenangkan bila seseorang yang istimewa mengajakku keluar untuk makan malam. Cora tersipu malu membayangkan hal itu.

“Membayangkan siapa?” goda Janne tiba-tiba. Riasannya sudah selesai dan nampak sempurna.

“Tidak... hanya sedang mengamatimu,” elak Cora malu. Ia meraih sebuah eye shadow, berpura-pura mengamati warna-warna yang tercetak di dalamnya.

“Kapan kamu nge-date sama teman sekantormu itu, Sis?” kejar Janne penasaran. “Kenalin, dong.

“Kurasa nggak akan pernah. Dia cuma teman kantor,” elak Cora enggan. Sekali waktu ia pernah menceritakan tentang Ramon pada adiknya lalu menyesalinya. Janne terus saja menggodanya karena itu.

Lengan Janne melingkari pundaknya. “Jadi kapan lagi? Mau jatuh cinta di usia tiga puluh?” Janne mendaratkan kecupan sayang di pipi kakaknya. “Nggak ada salahnya mencoba, ‘kan? Jangan-jangan, Ramon itu jodohmu..."

Benarkah? Cora membatin ragu. “Ah… perasaanku biasa saja.” bantahnya.

Janne tertawa. “Itu karena kalian cuma bertemu di kantor. Gimana mau tumbuh perasaan spesial? Beri dia kesempatan.”

Cora meletakkan eye shadow di tangannya. “Aku nggak mau menjadikan temanku sebagai uji coba, Janne..."

“Ayolah… kamu membuatku merasa menjadi penghasut jahat atau sejenisnya,” gelak Janne. “Nggak separah itu. Memberi kesempatan untuk diri sendiri itu nggak salah, Sis.”

Memberi kesempatan untuk diri sendiri, batin Cora. Kata-kata itu membuat adiknya terlihat sedikit lebih dewasa di matanya. “Mmm… saranmu ada benarnya juga,” akunya. “Tapi...”

“Kalau setelah dicoba perasaanmu nggak berubah, ya sudah, akui saja,” potong Janne cepat-cepat. “Jadi nggak perlu merasa bersalah, ya ‘kan?”

“Terimakasih, Janne. Mungkin aku akan mencobanya.”

“Bukan mungkin, tapi cobalah,” desak Janne.

Cora merapikan rambut di dahi adiknya dengan jemari. “Oke, baiklah. Doakan saja berhasil.”

Terdengar suara ketukan, lalu pintu terbuka. “Sayang, Brian menunggu di bawah,” kata mama. “Cora, kamu juga turun ya,” ajak perempuan itu lalu bergegas turun.

Tentu saja ajakan itu lebih kepada kewajiban menunjukkan keramahtamahan bagi lelaki yang diharapkan akan menjadi pendamping hidup putri kandung keluarga Howitt, pikir Cora getir.

Janne menggamit lengan Cora dengan riang. Saat tiba di ruang tamu, sapaan hangat Brian menyambut kedatangan mereka. Cora berusaha memaksakan diri untuk tersenyum. Ia tak begitu menyukai lelaki itu. Rasanya ada sesuatu yang palsu dalam sikap Brian. Cora sendiri tak mengerti kenapa harus merasa demikian.

Ketika keluarga Howitt dan Brian sedang berbincang-bincang, terdengar suara getaran ponsel. Brian memegangi saku celananya lalu pamit ke belakang untuk menerima panggilan itu. Baru saja lelaki berlalu, mama mengingatkan Cora untuk meminta Mbok Resmi menyiapkan beberapa makanan kecil.

Langkah Cora terhenti saat memasuki ruang makan. Ia mendengar suara Brian yang sedang berbisik lirih dengan seseorang di ponselnya. Karena diliputi perasaan curiga, Cora bersembunyi di balik lemari dan berusaha mendengarkan percakapan itu.

“Jangan curiga begitu. Hatiku hanya milikmu, Sayang. Ini cuma sementara. Aku akan kembali ke sisimu saat aku sudah menguasai perkebunan itu. Percayalah….” bisik Brian.

Cora meradang. Kata-kata itu menunjukkan bahwa lelaki itu hanya menginginkan harta keluarga Howitt dengan cara memperalat perasaan Janne. Tak mau menunggu lebih lama, ia keluar dari persembunyiannya.

“Kamu sedang bicara dengan kekasihmu?” tuding Cora.

Brian tersentak dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya pias. “Kekasih? Aku nggak mengerti apa maksudmu.”

“Berhentilah bersandiwara!” Cora merasakan kepalanya berdenyut karena amarah. “Kamu cuma ingin menguasai perkebunan keluarga ini!”

Baru saja Brian hendak membuka mulutnya, Janne datang. Gadis menatap mereka berdua bergantian. “Ada apa ini?”

Brian membalas pertanyaan gadis itu dengan cepat, “Kakakmu, sepertinya dia membenciku.”

Sepasang mata Cora membesar. Ia menatap Brian tajam. Lelaki itu sedang bersandiwara. Menimpakan kesalahan padanya…

***

Samosir, 17 September 2015 (Tepian DanauMu)

Baca juga kisah sebelumnya di:

SATU-Secangkir Capuccino

DUA-Gelas Pecah

TIGA-Tangis Kemarau

EMPAT-Cermin Buram

LIMA-Stiletto Merah

ENAM-Blue 5 Cafe

Catatan:

  • Copas tulisan ini harus menyertakan URL postingan ini
  • Sumber Ilustrasi di SINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun