“Membayangkan siapa?” goda Janne tiba-tiba. Riasannya sudah selesai dan nampak sempurna.
“Tidak... hanya sedang mengamatimu,” elak Cora malu. Ia meraih sebuah eye shadow, berpura-pura mengamati warna-warna yang tercetak di dalamnya.
“Kapan kamu nge-date sama teman sekantormu itu, Sis?” kejar Janne penasaran. “Kenalin, dong.”
“Kurasa nggak akan pernah. Dia cuma teman kantor,” elak Cora enggan. Sekali waktu ia pernah menceritakan tentang Ramon pada adiknya lalu menyesalinya. Janne terus saja menggodanya karena itu.
Lengan Janne melingkari pundaknya. “Jadi kapan lagi? Mau jatuh cinta di usia tiga puluh?” Janne mendaratkan kecupan sayang di pipi kakaknya. “Nggak ada salahnya mencoba, ‘kan? Jangan-jangan, Ramon itu jodohmu..."
Benarkah? Cora membatin ragu. “Ah… perasaanku biasa saja.” bantahnya.
Janne tertawa. “Itu karena kalian cuma bertemu di kantor. Gimana mau tumbuh perasaan spesial? Beri dia kesempatan.”
Cora meletakkan eye shadow di tangannya. “Aku nggak mau menjadikan temanku sebagai uji coba, Janne..."
“Ayolah… kamu membuatku merasa menjadi penghasut jahat atau sejenisnya,” gelak Janne. “Nggak separah itu. Memberi kesempatan untuk diri sendiri itu nggak salah, Sis.”
Memberi kesempatan untuk diri sendiri, batin Cora. Kata-kata itu membuat adiknya terlihat sedikit lebih dewasa di matanya. “Mmm… saranmu ada benarnya juga,” akunya. “Tapi...”
“Kalau setelah dicoba perasaanmu nggak berubah, ya sudah, akui saja,” potong Janne cepat-cepat. “Jadi nggak perlu merasa bersalah, ya ‘kan?”