Rahasia Brian
“Bagaimana menurutmu?” Janne mematut-matut dirinya di depan cermin lalu berputar ke arah Cora yang sedang mengamatinya. “Ini bagus tidak?” Mereka berdua sedang berada dalam kamar luas milik putri bungsu keluarga Howitt itu.
Cora mengacungkan jempolnya sekilas. Pandangannya beralih pada empat lemari besar yang mendominasi kamar itu. Tak heran bila mama sering mengatakan bahwa separuh kamar Janne adalah lemari pakaian, batinnya. Meski begitu, adiknya itu masih saja mengeluh kekurangan tempat untuk menaruh pakaian dan pernak-pernik fashion miliknya.
“Kamu yakin?”
“Ya, itu cocok untukmu.” Juga lima dress sebelumnya, tambah Cora dalam hati. Padahal, hampir semua pakaian akan terlihat menarik bila Janne yang mengenakannya. Cora memandang putus asa pada tumpukan pakaian yang tersampir di sebuah bangku. Berharap agar dress yang melekat di tubuh gadis itu sekarang adalah pilihan terakhirnya.
“Sungguh?” Sepasang mata Janne berbinar. “Semoga saja Brian suka.” Lalu terdengar runtutan pujian dari bibir gadis itu. Brian yang menawan, Brian yang pemurah, dan segala sesuatu yang menarik tentang lelaki itu. Sama seperti saat menjalin hubungan dengan lelaki-lelaki lain sebelumnya, cinta selalu membuat gadis jelita itu bersemangat.
Jamuan bisnis waktu itu rupanya meninggalkan kesan mendalam bagi keduanya. Brian kerap menghubungi Janne. Bahkan putra bungsu keluarga Barman itu sudah bertandang ke kediaman keluarga Howitt. Terlebih, papa dan mama jelas-jelas menunjukkan dukungan mereka. Dan malam ini, Brian akan mengajak Janne makan malam berdua untuk pertamakalinya.
Sambil mengamati Janne yang sedang merias wajahnya, Cora memikirkan sesuatu. Kapan aku akan mengalami saat-saat seperti ini? Pasti menyenangkan bila seseorang yang istimewa mengajakku keluar untuk makan malam. Cora tersipu malu membayangkan hal itu.