Green mengacungkan jempolnya. “Pilihan bagus. Oke, segera...”
Dalam hitungan menit, Cora sudah merasakan lelehan espresso dan vanilla ice cream memuaskan lidahnya. Kelezatan rasa manis dan pahit yang menyatu membuat gadis itu tersenyum.
“Bagaimana?”
“Sempurna. Aku suka.”
“Kelihatannya kamu penikmat kopi sejati.”
Cora tertawa kecil. “Ya… begitulah.”
Mereka berdua larut dalam perbincangan yang akrab. Dengan sabar Green menjawab segala keingintahuannya tentang dunia yang digeluti lelaki itu. Green juga menceritakan pengalamannya memperdalam ilmu meracik kopi di Italia, negeri istilah peracik kopi berasal. Perbincangan itu membuat Cora menyadari bahawa Green adalah pribadi yang ramah dan menyenangkan.
Saat gadis itu menyampaikan niatnya untuk mempelajari latte art, seorang pelayan yang menyampaikan pesanan pada Green tak sengaja menyenggol tubuhnya. “Maafkan saya...” ucap pelayan itu buru-buru.
Gadis itu tertegun sesaat, lalu melirik pergelangan tangannya. Astaga, hampir pukul sepuluh. Mama dan papa pasti heran ia belum pulang jam segini. Air mukanya berubah panik. Gugup. Keanggunannya raib tak berbekas.
“Ada apa, Cora?” tanya Green lembut.
Gadis itu menatap lelaki di hadapannya penuh tanda tanya. Lelaki ini tahu namanya! Mungkinkah tadi ia menceritakan sesuatu?