“Wah...” Barista itu terkekeh. “Kalau begitu, aku yang lalai memperhatikan pelanggan. Maafkan aku.”
Gadis itu melambaikan tangan. “Nggak apa-apa... Kafe ini memang lumayan ramai, ‘kan?”
“Ya, begitulah. Apa yang harus kusajikan untukmu?” Lelaki itu memiringkan kepala sedikit dengan mimik “siap melayani anda”.
Melihat sikapnya itu, mau tak mau gadis itu tersenyum. “Cukup secangkir cappucino dan namaku di atasnya. Cora...”
“Nama yang indah,” puji lelaki itu. “Seindah pemiliknya,” imbuhnya sebelum berlalu.
Cora tersipu. Hingga sang barista mulai meracik pesanannya, pipinya masih merona karena dijalari rasa senang. Sosok yang membelakanginya itu terlihat menjulang. Cora mengamatinya diam-diam. Ia bersyukur dalam hati karena datang ke cafe itu malam ini.
“Silahkan dinikmati,” suara barista itu membuyarkan lamunan Cora.
“Eh, ya,” cetus Cora gugup.
Cepat sekali aksi lelaki itu. Senyum Cora mengembang saat melihat pada buih secangkir cappucino di hadapannya. Cora & Green. Sebentuk hati melingkarinya. Ketika ia mendongak, wajah lelaki itu tepat berada di atas wajahnya.
“Kuharap kau suka. Itu namaku...”
Perempuan mana yang takkan menyukainya, batin Cora geli. “Kamu bercanda? Menurutku ini sangat indah. Terimakasih. Tapi... kurasa aku takkan tega meminumnya.”