Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jika Aku Bukan Dia [Dua-Gelas Pecah]

4 September 2015   07:17 Diperbarui: 4 September 2015   21:50 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DUA

Gelas Pecah

 

“Hai, Sis! Sudah lama?” sapa Janne. Gadis itu menghempaskan diri duduk di seberang meja Cora. Sepasang lesung pipi menghiasi senyum khasnya yang ceria. “Maafkan aku.”

“Kira-kira setengah jam,” jawab Cora berusaha terlihat riang. Ia tak ingin merenggut senyuman itu.

“Aku benar-benar mohon maaf.”  Sepasang mata indah itu menyiratkan sesal. “Hair spa kali ini butuh waktu lebih lama dari biasanya.”

Nggak apa-apa... Sudah biasa ‘kan?”

Janne tergelak sesaat.  Tiba-tiba tawanya lenyap. Ia memandangi kakaknya dengan seksama. “Sepertinya… ada yang berbeda denganmu.” 

“Oh, ya? Masa sih?”

Eye shadow, eye liner, blush on plus mascara! Wow, kamu kelihatan cantik. Sedang jatuh cinta?” goda Janne usil.

Cora melirik dinding kaca di sisi kanannya. Sebentuk wajah “biasa saja” dengan rambut pendek sebatas leher terpantul di sana. Hidung tempat bertenggernya kacamata itu tak bisa dibilang mancung. Bibir tipisnya dipoles lipstick berwarna peach. Sapuan make up tipis samar menghiasi wajahnya. Dibanding Janne, wajahnya jauh dari menarik.

“Mungkin ada teman kantor yang iseng…” ucap Cora ragu. Ia tak dapat mengingatnya dengan pasti. Tidak sekarang. Besok ia akan menanyakannya pada rekannya sesama accounting.

Janne mengernyitkan kening. “Mungkin?”

“Oh, maksudku… ini memang kerjaan temanku, Yola,” ralat Cora buru-buru. Nyaris saja…

Tawa kecil terdengar. “Kupikir, kakakku sedang jatuh cinta,” cetus Janne sambil menyibakkan rambutnya dengan jemari ke depan bahu. Rambut indah bergelombang miliknya nampak berkilau.

Spontan Cora menyentuh rambut legamnya dan berpikir, perempuan manapun pasti akan melakukan apa saja demi mendapatkan rambut seindah Janne.

Hei, kamu melamun?”

“Oh, eh, nggak. Pesan apa? Kita masih punya waktu setengah jam lagi,” kata Cora sambil melirik jam mungil di pergelangan tangannya.

“Biar aku pesan sendiri.” Janne melambaikan tangan untuk memesan secangkir coklat hangat, minuman favoritnya. Saat pesanannya tiba, Janne menceletuk, “Kita berdua akan merusak selera makan nanti,” ucapnya sambil mengedipkan mata.

Cora hanya tersenyum. Meski tak sedarah, Janne selalu bersikap hangat dan memperlakukan dirinya tak ubahnya saudari kandung sendiri. Seandainya saja Papa bersikap lebih adil…

Kedua kakak dan adik itu lalu terlibat pembicaraan seru. Meski sebenarnya Cora lebih banyak mendengarkan saja. Adiknya berceloteh tentang lelaki menarik di sudut ruangan cafe yang sedari tadi memandanginya. Mendadak Janne mengedipkan mata dengan mimik menggoda ke arah lelaki itu. Lelaki itu terkejut dan menumpahkan minumannya. Janne terpingkal. Meski ikut menahan ledakan tawa melihat ulah adiknya, tak urung Cora cemas setengah mati. Ia takut orang itu mendatangi meja mereka lalu marah-marah.

Saat mengamati derai tawa saudari angkatnya itu, Cora semakin memahami, keceriaan bagaikan sakura mekar di musim semi itulah yang membuat gadis itu sangat menarik. Bertolak belakang dengan dirinya yang muram seperti setangkai ranting di musim dingin. Sesuatu yang hendak ia rubah sejak dulu. Tapi entah mengapa, sulit sekali untuk melakukannya.

Ups, tiba-tiba Cora teringat sesuatu. Saatnya makan malam. Papa sangat disiplin soal waktu. “Janne, Papa dan Mama pasti sudah tiba.”

“Betul juga. Saatnya makan malam”, balas Janne mengedipkan sebelah mata. Seolah sebuah isyarat, bahwa mereka harus bersiap dengan makan malam kaku ala Mr. Howitt.

***

Restoran itu terletak di lantai tiga mall yang sama. Interiornya yang didominasi warna kayu memberikan kesan hangat dan nyaman. Sudah lama keluarga Howitt menjadikan restoran western food ini sebagai favorit keluarga. Terkecuali Cora. Langit-langit mulutnya lebih mencintai kuliner lokal. Tentu saja gadis itu menyimpannya sendiri dalam hati. Mana berani ia membantah Papa?

Saat memasuki restoran, mereka sudah ada di sana. Bergantian Cora dan Janne mencium pipi perempuan yang terlihat cantik di usianya yang sudah melampaui setengah abad itu. Lalu menyapa lelaki yang duduk di sebelahnya. Suasana kaku segera terasa. Untunglah, keriangan Janne sedikit banyak memecahkan kebekuan.

Pasangan Howitt duduk bersisian dan terlihat bagai dua orang asing. Papa seorang pria yang memiliki roman muka tegas dengan hidung yang mencuat lurus dengan warna mata cenderung gelap. Kulit aslinya yang semula pucat dipenuhi flek-flek kecokelatan. Hasil paparan terik matahari di perkebunan bertahun-tahun lamanya. Bibir terkatup milik pria bertubuh tinggi itu menyiratkan ketegasan tak terbantahkan.

Mama justru sebaliknya. Terlihat mungil dan lembut. Rambut dan alisnya yang berwarna cokelat keemasan sungguh menawan. Keindahan rambutnya itulah yang diwariskan pada putri kandungnya. Pupilnya yang berwarna senada dinaungi barisan bulu mata lentik. Hidung dan bibir mungilnya mempercantik perempuan itu. Janne yang tinggi semampai dan berparas jelita benar-benar mencerminkan perpaduan kedua orangtuanya.

Beberapa saat kemudian keluarga Barman tiba dan bergabung di meja. Suasana segera mencair karena kehangatan keluarga itu. Kehadiran putra bungsu mereka, Brian, sepertinya membuat Janne lebih antusias. Makan malam itu berlangsung akrab dan diselingi perbincangan hangat.

“Brian ini sebenarnya punya kakak. Tapi yahhh… anak muda sekarang sulit diatur. Dia menolak berbisnis seperti kita,” keluh Pak Barman.

Mr. Howitt manggut-manggut. “Benar, Pak. Putri bungsu saya juga lebih suka menghabiskan waktu membuat sketsa busana.” Papa melirik Janne dengan ekor mata. “Tahun lalu dia baru pulang dari Paris.”

Orang yang dibicarakan malah sedang mencuri-curi lirikan dengan Brian sambil pura-pura fokus dengan makanan di piringnya. Ketertarikan terlihat jelas di antara keduanya, meski masih sama-sama menjaga sikap.

Dia selalu berhasil membuat lelaki manapun tertarik. Cora mendesah dalam hati.

Para orangtua rupanya menangkap gelagat kedua orang muda itu. Sinyal pun diisyaratkan dengan saling melemparkan senyuman. Lalu semuanya tenggelam dalam percakapan masing-masing. Para ayah membahas pengelolaan perkebunan. Mr. Howitt mengeluhkan kelelahannya pulang-pergi ke Sumatera untuk mengontrol beberapa perkebunannya di sana. Ia menyampaikan niatnya untuk menjual sebagian perkebunan itu pada Pak Barman.

“Putri saya cukup meneruskan sebagiannya saja,” kata Mr. Howitt. “Biar nanti suaminya yang membantu mengelola,” lanjutnya penuh makna sambil melihat ke arah Brian.

Pak Barman mengangguk-anggukkan kepalanya gembira. Ia memahami sepenuhnya maksud pria itu. Sungguh beruntung bila mereka dapat berbesan dengan pengusaha besar itu. Perkebunan yang ia miliki belum ada apa-apanya dibanding pria di hadapannya ini.

Sementara para suami berbicara tentang bisnis, Mrs. Howitt dan Ibu Barman berbisik perlahan tentang rencana melihat-lihat model tas terbaru di butik seusai makan malam. Butik itu terletak tepat di sebelah restoran. Tujuan Mr. Howitt memilih restoran ini tercapai. Pembicaraan bisnis berjalan lebih lancar karena kedua keluarga berbagi kesukaan dan lebih akrab.

Brian dan Janne mulai berbincang dengan suara rendah. Sama seperti para ibu, mereka tak ingin pembicaraan utama terganggu. Tak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk membawa Brian dalam perbincangan yang menarik.

Di tengah-tengah keakraban itu, seseorang meremas-remas serbet di bawah meja sambil memainkan salad-nya dengan garpu. Gelisah. Tak seorang pun yang membicarakannya. Atau mengajaknya bicara. Ia diabaikan. Selalu, seperti biasanya.

Mereka harus menganggapku ada. Lalu sretttpyarrr! Sebuah gelas jatuh dan berderai di lantai. Sesaat semua orang terkesima.

Cora mengangkat dagunya dan berkata, “Oh, maafkan saya…” ucapnya tenang. Sedikit pun tak terlihat kegugupan di sana.

Pembicaraan terhenti. Mr. Howitt terlihat gusar. Rautnya merah padam. Kemarahannya siap meledak. Mrs. Howitt buru-buru membujuk suaminya, mengatakan bahwa Cora pasti tak sengaja. Keluarga Barman turut pula menengahi.

Saat pramusaji datang untuk membersihkan pecahan gelas, semua orang sudah melupakan kejadian itu dan kembali dengan urusannya masing-masing. Tak ada yang menyadari,  sepasang tangan mengepal di bawah meja...

***

bersambung...

Baca juga kisah sebelumnya di:

SATU-Secangkir Capuccino

Catatan:

  • Copas tulisan ini harus menyertakan URL postingan ini
  • Sumber Ilustrasi di SINI

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun