Janne mengernyitkan kening. “Mungkin?”
“Oh, maksudku… ini memang kerjaan temanku, Yola,” ralat Cora buru-buru. Nyaris saja…
Tawa kecil terdengar. “Kupikir, kakakku sedang jatuh cinta,” cetus Janne sambil menyibakkan rambutnya dengan jemari ke depan bahu. Rambut indah bergelombang miliknya nampak berkilau.
Spontan Cora menyentuh rambut legamnya dan berpikir, perempuan manapun pasti akan melakukan apa saja demi mendapatkan rambut seindah Janne.
“Hei, kamu melamun?”
“Oh, eh, nggak. Pesan apa? Kita masih punya waktu setengah jam lagi,” kata Cora sambil melirik jam mungil di pergelangan tangannya.
“Biar aku pesan sendiri.” Janne melambaikan tangan untuk memesan secangkir coklat hangat, minuman favoritnya. Saat pesanannya tiba, Janne menceletuk, “Kita berdua akan merusak selera makan nanti,” ucapnya sambil mengedipkan mata.
Cora hanya tersenyum. Meski tak sedarah, Janne selalu bersikap hangat dan memperlakukan dirinya tak ubahnya saudari kandung sendiri. Seandainya saja Papa bersikap lebih adil…
Kedua kakak dan adik itu lalu terlibat pembicaraan seru. Meski sebenarnya Cora lebih banyak mendengarkan saja. Adiknya berceloteh tentang lelaki menarik di sudut ruangan cafe yang sedari tadi memandanginya. Mendadak Janne mengedipkan mata dengan mimik menggoda ke arah lelaki itu. Lelaki itu terkejut dan menumpahkan minumannya. Janne terpingkal. Meski ikut menahan ledakan tawa melihat ulah adiknya, tak urung Cora cemas setengah mati. Ia takut orang itu mendatangi meja mereka lalu marah-marah.
Saat mengamati derai tawa saudari angkatnya itu, Cora semakin memahami, keceriaan bagaikan sakura mekar di musim semi itulah yang membuat gadis itu sangat menarik. Bertolak belakang dengan dirinya yang muram seperti setangkai ranting di musim dingin. Sesuatu yang hendak ia rubah sejak dulu. Tapi entah mengapa, sulit sekali untuk melakukannya.
Ups, tiba-tiba Cora teringat sesuatu. Saatnya makan malam. Papa sangat disiplin soal waktu. “Janne, Papa dan Mama pasti sudah tiba.”