Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jika Aku Bukan Dia [Dua-Gelas Pecah]

4 September 2015   07:17 Diperbarui: 4 September 2015   21:50 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para orangtua rupanya menangkap gelagat kedua orang muda itu. Sinyal pun diisyaratkan dengan saling melemparkan senyuman. Lalu semuanya tenggelam dalam percakapan masing-masing. Para ayah membahas pengelolaan perkebunan. Mr. Howitt mengeluhkan kelelahannya pulang-pergi ke Sumatera untuk mengontrol beberapa perkebunannya di sana. Ia menyampaikan niatnya untuk menjual sebagian perkebunan itu pada Pak Barman.

“Putri saya cukup meneruskan sebagiannya saja,” kata Mr. Howitt. “Biar nanti suaminya yang membantu mengelola,” lanjutnya penuh makna sambil melihat ke arah Brian.

Pak Barman mengangguk-anggukkan kepalanya gembira. Ia memahami sepenuhnya maksud pria itu. Sungguh beruntung bila mereka dapat berbesan dengan pengusaha besar itu. Perkebunan yang ia miliki belum ada apa-apanya dibanding pria di hadapannya ini.

Sementara para suami berbicara tentang bisnis, Mrs. Howitt dan Ibu Barman berbisik perlahan tentang rencana melihat-lihat model tas terbaru di butik seusai makan malam. Butik itu terletak tepat di sebelah restoran. Tujuan Mr. Howitt memilih restoran ini tercapai. Pembicaraan bisnis berjalan lebih lancar karena kedua keluarga berbagi kesukaan dan lebih akrab.

Brian dan Janne mulai berbincang dengan suara rendah. Sama seperti para ibu, mereka tak ingin pembicaraan utama terganggu. Tak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk membawa Brian dalam perbincangan yang menarik.

Di tengah-tengah keakraban itu, seseorang meremas-remas serbet di bawah meja sambil memainkan salad-nya dengan garpu. Gelisah. Tak seorang pun yang membicarakannya. Atau mengajaknya bicara. Ia diabaikan. Selalu, seperti biasanya.

Mereka harus menganggapku ada. Lalu sretttpyarrr! Sebuah gelas jatuh dan berderai di lantai. Sesaat semua orang terkesima.

Cora mengangkat dagunya dan berkata, “Oh, maafkan saya…” ucapnya tenang. Sedikit pun tak terlihat kegugupan di sana.

Pembicaraan terhenti. Mr. Howitt terlihat gusar. Rautnya merah padam. Kemarahannya siap meledak. Mrs. Howitt buru-buru membujuk suaminya, mengatakan bahwa Cora pasti tak sengaja. Keluarga Barman turut pula menengahi.

Saat pramusaji datang untuk membersihkan pecahan gelas, semua orang sudah melupakan kejadian itu dan kembali dengan urusannya masing-masing. Tak ada yang menyadari,  sepasang tangan mengepal di bawah meja...

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun