Setelah ketegangan dari adanya pembasmian Gerwani kontrol pemerintah semakin meningkat, Kowani (Kongres Wanita indonesia) ditunjuk oleh pemerintah Orde Baru untuk menjadi organisasi payung bagi semua kelompok wanita, dari organisasi profesional, sosial, keagamaan sampai organisasi-organisasi fungsional (Suryakusuma, 2011: 17). Di masa demokrasi terpimpin, Kowani didorong menjadi organisasi radikal oleh Gerwani dan Hurustiati Subandrio (istri menteri luar negeri saat itu, Dr.Subandrio). Sejak Mei 1966, pada saat pembasmian kaum komunis, para pemimpin organisasi-organisasi perempuan yang berkaitan dengan Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya) meningkatkan jumlah wakil mereka dalam pengurus eksekutif Kowani (Reeve, 1983: 330).
Sayangnya penunjukan Kowani sebagai organisasi semua kelompok wanita menjadikannya mati dalam perjuangan perempuan. Kowani mendapatan pengesahan resmi dari pemerintah dalam Panca Dharma Wanita, yaitu: 1) wanita sebagai pendamping setia suami, 2) wanita sebagai pencetak generasi penerus bangsa, 3) wanita sebagai pendidik dan pembimbing anak, 3) wanita sebagai pengatur rumah tangga, 4) wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna. Di masa ini negara sebagai suprastruktur dari adanya kepentingan ekonomi menciptakan hegemoni dan mengontruksi sosial bahwasanya perempuan harus tunduk kepada laki-laki. Ia hanya bisa bergerak di ranah domestik; dapur, sumur dan kasur.
Bagaimana perjuangan pembebasan perempuan tidak mati, mereka terbius dan tercetak untuk mengikuti budaya “ikut suami”. Panca Dharma Wanita tersebut sangat membatasi perempuan, domestifikasi dan depolitisasi perempuan dengan hanya mengurusi suami, anak dan rumah tangga sama sekali tidak memberikan perempuan ruang untuk menikmati dan melakukan hal-hal sebagaimana sebagai subjek manusia. Keadaan tersebut juga sangat “bapakisme” dan “patronistik”.
Paham “bapakisme” adalah paham dimana dasar dari seluruh struktur stratifikasi sosial di Indonesia. Setiap patron adalah bapak, setiap klien mempunyai seorang bapak. Dengan demikian, paham “bapakisme” merasuki perilaku aparat negara pada semua tingkat, dan semua hubungan adalah hubungan “bapak-anak buah” (Langenberg 1986: 9-10). Demikian Masa Orde Baru benar-benar menjadikan perempuan sebagai sebuah objek belaka. Ia adalah klien yang harus tunduk kepada patronnya.
Masalah wanita–atau dalam peristilahan Orde Baru disebut “kegiatan peningkatan peranan wanita”–di Indonesia disegregasikan ke dalam dan dikoordinasi oleh Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita (UPW) (Suryakusuma, 2011: 18). Namun peningkatan peranan perempuan ini adalah “peran ganda” karena negara mengikutsertakan perempuan dalam pembangunan negara dan juga perempuan wajib dalam menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Ya, memang perempuan harus berpartisipasi dalam sosial dan politik namun Orde Baru yang membungkus dirinya secara liberal tak khayal hanya menjadikan perempuan sebagai alat yang berperan dengan citra “ibu rumah tangga” dan “istri”.
Organisasi Kowani berlaku sebagai mitra Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (UPW), kowani banyak kehilangan otonominya dan sangat dikontrol pemerintah. Organisasi ini sangat terkait dengan Golkar serta didominasi oleh Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi[3]. Keduanya adalah organisasi fungsional, dengan keanggotaan otomatis mengikuti hierarki suami. Yang paling menjijikan di organisasi pemerintah tersebut adalah ketika pimpinan “fungsional” terletak pada kedudukan suami, apapun latarbelakang pendidikan, organisasi atau kecenderungan politik isteri. Lalu dimana letak peran perempuan yang sesungguhnya apabila harus “bapakisme”!? Alhasil di masa itu perempuan enggan untuk memiliki pendidikan di jenjang yang lebih tinggi, misalnya menjadi mahasiswi di Universitas, karena jenjang pendidikan tersebut tidak ada gunanya. Toh seorang istri harus tunduk dan patuh pada suaminya. Maka, celakalah sistem yang telah dibangun oleh negara Indonesia! Kedudukan perempuan tidak memiliki kesetaraan dengan kaum laki-laki.
Orde Baru memberikan dukungan dana kepada organisasi-organisasi wanita sehingga dengan kata lain organisasi-organisasi wanita dipaksa mendukung tujuan pembangunan pemerintah. Sehingga organisasi perempuan tidak dapat bergerak dan melakukan perlawanan, sulit karena sudah tercipta hubungan patron-klien. Lagipula penyadaran yang ada mudah dibungkam dan menyuarakan pendapat bahkan dapat dikatakan sebagai tindakan subversif karena bertentangan dengan pemerintah. Bagi kaum wanita, ini berarti hilangnya otonomi secara nyata. Mereka dipaksa tunduk dan siapapun yang melakukan perlawanan akan dihilangkan dan bahkan dibunuh. Persekongkolan kekuasaan Orde Baru dibangun terus-menerus, dengan cara pelecehan martabat perempuan pada khususnya, yang telah digunakan sebagai pembenaran kelangsungan basis kekuasaan totaliter Presiden Soeharto yang berwatak patriarkal (Wieringa, 1999: xlvii). Bahkan dengan watak patriarkal militer Presiden Soeharto telah menjadikan para perempuan aktivis kiri sebagai Tapol dan melemahkan organisasi perempuan lainnya (Mariana, 2015: 120).
Setiap upaya untuk memaksa wanita kembali ke chador atau rumah adalah kebijakan yang reaksioner, apalagi menekan perempuan dengan peran ganda tanpa hak untuk memilih ruang geraknya. Hal demikian tidak menghargai revolusi yang hendak membebaskan rakyat dan menghapus eksploitasi dan kesengsaraan. Perempuan di mana pun harus bersatu untuk menguatkan dan meluaskan gerakan mereka menuju kemerdekaan (Saadawi, 2001: xxi).
Masa Orde Baru adalah masa kelam dan pedih karena hilangnya rasa kemanusiaan hingga rakyat menjadi tumbal kekuasaan, hal ini perlu untuk ditilik kembali mengingat perjuangan perempuan tidak mudah dan penuh dengan tumpah darah, masa itu menyulut api perlawanan untuk gerakan-gerakan perempuan masa kini.
Kini di abad ke 21, di Masa Reformasi banyak bermunculan organisasi-organisasi perempuan yang lahir untuk mempropagandakan bahwa penindasan perempuan masih merajalela. Di dalamnya tentu tidak hanya beranggotakan perempuan namun juga laki-laki yang berprinsip tidak patriarki. Dibangunnya organisasi perempuan tersebut untuk mengajak perempuan agar berorganisasi dan tidak menjadi korban hegemoni konstruksi sosial. Memang di masa Orde Baru gerakan perempuan sangat rawan represifitas namun di masa reformasi saat ini walaupun masih ada represifitas namun perjuangan perempuan harus selalu dikobarkan! Apalagi dengan adanya Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada setiap tanggal 8 Maret, di Hari itu kita harus membangun aksi massa untuk turun ke jalan, berpropaganda melawan budaya patriarki yang mengengkang kehidupan perempuan.
Ingatlah Ingat! Tidak ada perjuangan sejati tanpa pembebasan perempuan!