Kabut masih menyelimuti lereng Gunung Loreng. Udara dingin menusuk sampai ke tulang. Sinar mentari masih enggan menerobos tebalnya kabut pagi. Para pekerja di peternakan masih duduk berbalut kain sarung sambil asyik menikmati rokok di tangannya. Kepulan asap rokok mereka membentuk bulatan-bulatan bak awan menari-nari di langit. Mereka berlomba mencari kehangatan ditemani cecangkir kopi yang sesekali diseruput di antara hisapan rokok. Tanpa bicara, namun kenikmatan mereka rasa bersama.
 Ustad Adi tampak memasuki area peternakan. Langkah tegap memulai aktivitas rutinnya. Sarung dan peci masih melekat, menemani selepas jamaah shalat Subuh. Pandangannya menyapu ke semua penjuru peternakan yang masih sepi. Tangannya dengan terampil merapikan tanaman di sepanjang jalan masuk. Terkadang beliau berhenti, mengamati sejenak. Matanya jeli menyelidik ke berbagai sudut peternakan. Kepulan asap membumbung ke udara bagai cerobong asap pabrik menyita perhatiannya. Dia keryitkan dahi, saat matanya menyelidik. Langkahnya menyeruak rumput gajah yang rimbun melacaknya.
 "Assalamu alaikum." Senyum Ustad Adi terkembang.
 Sekumpulan pekerja terperanjat, spontan membuang putung rokok di tangannya. " Wa'alaikum salam Abah." Serempak mereka menjawab salam Ustad Adi. Satu per satu mereka menyalami Ustad Adi dengan sangat sopan. Beberapa orang segera merapikan cangkir kosong dan putung rokok yang berserakan.
"Maaf Abah, kami tidak mendengar kehadiran Abah. Udara pagi ini sangat dingin, makanya kami kembali menghisap rokok." Pak Wagiman menjelaskan sambil tersipu.
 Ustad Adi tersenyum," Memang perlu pembiasaan Bapak, tapi niat yang kuat itu yang lebih penting. Mari kita kuatkan niat kembali."
 Ustad Adi selalu mengawali pagi dengan menyambung silaturahim dengan para karyawan sekaligus memberikan pencerahan. Selesai memeriksa kondisi ternak dan lingkungannya, beliau bergegas pulang dengan mengendarai motor sederhananya. Tampak Zulaiha istrinya setia menunggu di halaman. Sudah tiga bulan mereka memulai hidup baru di daerah lereng Gunung Loreng ini. Setelah sarapan, seperti biasa mereka berjalan-jalan ke pasar untuk berbelanja kebutuhan  harian.
"Mas, njenengan merasakan keganjilan?"
 "Keganjilan apa? Positif thinking saja Dik."
 "Iya Mas. Tapi coba lihatlah pandangan mereka tak seperti biasa. Biasanya setiap aku menyapa mereka menyambut dengan ramah, kali ini mereka tampak sinis dan menghindar dari kita."
"Mas juga lihat. Gak usah terlalu dipikirkan, mungkin mereka sedang ada masalah. Kalau Dinda merasa tidak nyaman dengan pandangan mereka, percepat belanjanya agar kita bisa segera pulang."
Zulaiha tak banyak bicara, segera dia laksanakan perintah suaminya. Tak seberapa lama tas di tangannya sudah penuh. Mereka bergegas meninggalkan pasar. Di depan pasar terlihat beberapa orang bergerombol yang sedang berdebat hebat. Â Ustadz Adi segera menghampiri mereka.
     "Assalamu alaikum."
     "Waalaikum salam." Serempak mereka menjawab dan spontan  menoleh.
     "Nah itu dia orangnya!" Seorang laki-laki berteriak sambil menunjuk ke arah Ustadz Adi.
     Ustad Adi tersenyum, "Bapak, ada apa dengan saya? Ada yang bisa saya bantu?"
     "Kalian lihat Saudara-Saudara, betapa pandainya Ustadz ini berakting. Dasar serigala berbulu domba!"
     "Maaf Saudara-Saudara, saya tidak faham yang Anda sampaikan, tolong jelaskan pada saya."
     "Ustad tidak perlu lagi menutup-nutupi kemaksiatan yang ustadz perbuat!"
 "Dengar bapak ibu sekalian, ustadz yang selama ini terlihat alim ini ternyata pemabuk!", sahut pak Bendi yang dari tadi membendung emosi.
 "Saya juga lihat si munafik ini, suka main perempuan dan membawanya ke rumahnya. Dasar ustad cabul! Ayo kita bunuh si munafik ini!", tambah pak Baidi menambah panas suasana masyarakat.
 "Ayo bunuh ustad jadi-jadian ini!!" warga semakin tidak bisa dikendalikan
     "Bunuh..!! Bunuh..!!"
     "Cukup! Tolong semua tenang, jangan membabi buta  sebelum mengetahui kebenarannya.", Pak Doni mencoba mendinginkan suasana.
     "Kita tidak membabi buta Pak Doni. Kita sudah tahu faktanya dan banyak saksi yang tahu akan hal ini."
     "Kita belum mengklarifikasi masalah ini dengan Ustad Adi, jangan sampai kita salah langkah."
     "Klarifikasi ? Untuk apa klarifikasi pada orang munafik seperti dia!" Seorang pemuda bertubuh gempal tiba-tiba berteriak sambil  menunjuk pada muka Ustad Adi," Dasar pemabuk dan penzina menjijikkan! Kamu sudah mampu mengelabuhi masyarakat di sini. Kami kira kau orang baik, ternyata lebih bejat dari kami. Allah Maha Adil, telah membukakan aibmu!"
     Seorang ibu mendadak maju dan berteriak, " Aku siap bersaksi, aku melihat langsung bagaimana dia memborong minuman keras di toko-toko dan juga bagaimana tenangnya dia memasukkan pelacur ke mobilnya dan membawanya ke rumahnya. Benar-benar seorang munafik! Cuih! Lihatlah wajah istrinya ini, berlagak suci bak bidadari, ternyata dia hanya  seorang yang dungu!"
     "Astaghfirullah, apa yang terjadi?" Zulaiha ketakutan sambil memeluk tangan suaminya.
     "Tenanglah Dinda, sepertinya ada kesalahfahaman. Saudara-saudara, sepertinya ada kesalahfahaman. Izinkan kami menjelaskan."
     Tiba-tiba msyarakat gaduh saat mendengar ucapan Ustadz Adi. Mereka berteriak, memaki, ada yang menyumpahi, bahkan ada yang melempari Ustadz Adi dengan batu. Suasana menjadi sangat panas dan warga makin tak dapat menahan emosinya. Tangan Ustad Adi melindungi istrinya dari amukan massa. Beberapa lemparan batu mengenai kepala Ustad Adi. Darah mulai mengucur membasahi bajunya. Dalam suasana genting tersebut Pak Rahman, Kepala Desa Ngembag yang kebetulan melintas segera melerai.
     "Hentikan!"
     Semua warga terdiam. Suara Pak Rahman penuh wibawa menghipnotis warga. Tanpa banyak bicara Pak Rahman dan Pak Doni segera menyelamatkan Ustad Adi dan istrinya dari amukan massa. Mobil Pak Rahman segera meluncur menuju rumah Ustadz Adi. Sesampai di halaman rumah Ustad Adi Pak Rahman menghentikan mobilnya.
     "Ustad Adi, saya minta maaf atas kejadian ini.Saya tidak faham apa yang menyebabkan masyarakat menumpahkan kemarahannya kepada Ustad. Sebaiknya Ustad segera beristirahat. Nanti sore ba'da Isya' insya Allah saya dan para pemuka masyarakat akan  klarifikasi masalah ini dengan Ustad Demi kebaikan bersama, saya mohon hari ini Ustad tidak keluar rumah dulu."
     Ustad Adi mengangguk dan tersenyum, "Terima kasih Pak Rahman, terima kasih atas pertolongannya. Saya tunggu ba'da Isya, semoga semua dapat kita selesaikan dan mendapat solusi terbaik."
****
     Zulaiha mengobati dan membalut luka suaminya. Wajahnya tampak sedih.
    "Dinda, kenapa murung terus? Jangan bersedih. Sejak pagi matahari redup tanpa senyummu."
     "Kang Mas masih bisa bercanda dalam situasi begini, apakah tidak khawatir?"
     "Apa yang harus dikhawatirkan Dinda? Bukankah semua itu sudah menjadi ketentuan Allah."
     "Tapi Dinda benar- benar shock, mereka harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."
     "Semua pasti ada hikmahnya."
     "Syukurlah tadi Pak Rahman menolong kita."
     "Allah yang menolong kita, dengan mengirimkan Pak Rahman."
     "Betul Mas, kalau tidak, Dinda tak mampu membayangkan apa yang terjadi."
     "Hidup dan mati merupakan ketentuan Allah. Cepat atau lambat pasti terjadi. Tak perlu terlalu dirisaukan. Kewajiban kita hanya mempersiapkan bekal pulang dengan sebaik-baiknya. Mas mohon Dinda, mengikhlaskan semuanya dan memaafkan atas kejadian tadi, bahkan apabila hari ini Mas harus berpulang, Dinda harus ikhlas."
     Tangis Zulaiha meledak, dipeluknya suaminya dengan erat, "Jangan berbicara seperti itu Kang Mas, aku tidak bisa hidup tanpa Kang Mas."
     "Istighfar Dinda, istighfar... Kita syukuri semua nikmat Allah! Nanti akan kita klarifikasi  dengan masyarakat, dan pasti masyarakat akan mengerti. Bersabarlah."
     Seharian Ustad Adi tidak berjamaah di masjid. Beliau shalat berjamaah di rumah dengan istri dan para pembantu. Baru saja selesai shalat Mahgrib, terdengar suara gaduh di luar rumah.
     "Keluar! Keluar manusia laknat! "Teriakan itu disambut dengan ejekan yang menyakitkan.
     Ustad Adi tetap duduk bibirnya tak henti berdzikir. Seolah tak mendengar teriakan dan suara ribut di luar rumahnya. Tak lama kemudian, hujan batu menyerang rumahnya, itu juga sama sekali tak mempengaruhinya. Istrinya tak berani mengganggu kekhusyukan suaminya. Dia merapat pada suaminya, kemudian ikut tenggelam dalam dzikir. Para pembantu, Darjo, Ginah, dan Warti berkumpul di pojok ruang tengah, tak berani keluar.
     Tiba-tiba terdengar riuh warga mendobrak rumahnya dan beberapa orang masuk rumah dengan marahnya, sebagian mendapati Ustadz Adi di ruang shalat. Mereka pun menyeret Ustad Adi ke halaman. Langsung mendapat sambutan keroyokan warga. Pukulan dan pentungan menghujani tubuhnya tanpa mampu melawan.
Zulaiha yang  berusaha menyelamatkan suaminya justru ikut menjadi korban pengeroyokan. Setelah keduanya terkapar tak berdaya, salah seorang di antara mereka  memberikan intruksi untuk menghentikan.
     " Sudah cukup! Ini merupakan peringatan pertama untuk kalian! Kami tidak sudi di desa kami  ada manusia laknat seperti kalian! Pemabuk, penzina yang memakai kedok ustad. Kalian harus keluar dari desa kami, sebelum azab Allah menimpa kami. Apabila besuk pagi kalian belum meninggalkan desa ini , kami akan bertindak lebih kejam dan rumah Anda akan kami bakar!"
     Sesaat halaman rumah Ustad  Adi sepi senyap.  Ustad Adi pingsan dalam pelukan istrinya. Para pembantu baru berani keluar untuk menyelamatkan mereka berdua. Baru saja Darjo akan mencari pertolongan dua buah mobil memasuki pekarangan. Pak Rahman, Pak Amin, Kyai Maksum, dan beberapa tokoh masyarakat turun  dari mobil. Mereka sangat terkejut atas kejadian yang menimpa Ustadz Adi. Mereka kecolongan, rupanya masyarakat mendahului bertindak sebelum para tokoh meminta klarifikasi  kepada Ustad Adi. Mereka membawa mereka ke rumah sakit dan langsung mendapat penanganan di IGD.
Sesaat kemudian seorang perawat menyampaikan bahwa Ustadz Adi siuman dan memohon Pak Rahman, Pak Amin, dan Kyai Maksum menemui Ustad Adi. Mereka segera mengikuti langkah perawat yang memanggil. Dia terlihat sangat payah.Beberapa alat menempel di dadanya. Sementara istrinya mendampinginya dengan wajah penuh luka dan sangat sedih. Petugas IGD membisikkan kepada Pak Rahman agar tidak terlalu lama berbincang. Kondisi pasien sedang kritis.
     " Assalamu alaikum." Salam dan lambaian tangan Ustad Adi membuat mereka makin terharu.
     " Wa alaikum salam." Serempak mereka menjawab dan segera merapat.
     Kyai Maksum mengelus rambut Ustad Adi dengan penuh kasih, " Alhamdulillah Ustad sudah siuman, semoga Allah memberikan kesembuhan dan kesabaran. Semoga menjadi penebus dosa."
     " Aamiin. Bapak-bapak, saya mohon maaf atas kejadian ini. Semua ini dikarenakan karena saya punya cara sendiri dalam berda'wah, maka menimbulkan kecurigaan dari masyarakat. Saya mohon maaf karena kehadiran saya di desa ini membuat masyarakat menjadi resah. Mohon sampaikan permohonan maaf saya kepada masyarakat di sini."
     " Ustad tidak bersalah, justru masyarakat di sini yang salah. Mereka terlalu membabi buta sebelum mengetahui kebenarannya. Saya selaku kepala desa meminta maaf atas kejadian ini. Semoga Ustad  sudi memaafkan dan semoga lekas diberikan kesembuhan."
     " Aamiin. Terimakasih Bapak-bapak atas perhatian dan doanya, semoga Allah membalas dengan limpahan kebaikan untuk Penjenengan bertiga." Pandangan Ustad Adi beralih menatap istrinya." Dinda maafkan Mas yang selama ini belum bisa membahagiakan Dinda. Selama ini Mas selalu memberikan beban dan selalu mengajak  berjuang tanpa kenal waktu. Hari ini Mas masih minta bantuan kepada Dinda untuk menjelaskan semua perjuangan kita selama ini. Semoga bisa memberikan pemahaman dan menghilangkan prasangka yang kurang baik. " Napas Ustad Adi tersengal.
     " Insha Allah Mas, semua akan Dinda laksanakan. Sekarang Mas istirahat, jangan diforsir."
     " Tidak Dinda, Mas tidak apa-apa. Namun bila sesuatu terjadi pada Mas , tolong Dinda ikhlaskan. Jangan ditangisi, semua sudah kehendak-Nya. Mas tunggu di Surga Allah."
     Zulaiha tak mampu berkata apa-apa. Dia hanya mengangguk sendu. Tak terasa air matanya meleleh di pipi. Ustad Adi mengelap dengan penuh kasih. Diraih pundak istrinya , didekap di dadanya dengan erat. Tiba-tiba perawat menegakkan tubuh Zulaiha. Ternyata Ustad Adi sudah tiada.
" Innalillahi wa innailaihi rojiun."Â Mereka mengucapkan serempak .
                         ****
     Upacara pemakaman sudah siap. Semua penduduk menghadiri dengan hikmat. Di wajah mereka tergambar penyesalan dan kesedihan yang dalam. Istri Ustad Adi duduk mendampigi jenasah. Setelah sambutan dari Kepala Desa dilanjutkan dengan sambutan dari Zulaiha..
     " Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Alhamdulillah atas karunia Allah yang dilimpahkan kepada kita berupa iman, islam , dan sehat wal afiat. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, semoga kelak kita mendapat syafaat di yaumil akhir nanti. Aamiin.
Bapak Ibu yang saya hormati hari ini saya akan menyampaikan wasiat dari almarhum suami saya, agar saya mengklarifikasi  permasalahan yang telah menimbulkan salah faham. Terus terang kami merasa bingung ketika mendapat luapan amarah dari warga dan menuduh Mas Adi sebagai pemabuk dan penzina. Namun alhamdulillah, tadi malam Bapak Kyai Ma'sum sudah menjelaskan secara rinci kepada saya.
     Sebelumnya Saya menyampaikan permohonan maaf Mas Adi yang telah mengambil metode da'wah yang terbilang unik dan tidak lumrah. Menurut beliau memang tidak mudah berda'wah di tempat ini, karena  sudah pernah dicoba dengan cara biasa namun mendapat pertentangan dari masyarakat. Saya beberapa kali sudah mengingatkan, saya takut  cara berda'wah dengan cara ini menimbulkan salah paham. Namun selalu dijawab, insha Allah bila kita memiliki niat baik Allah ridho.
     Bapak Ibu yang saya hormati. Mohon maaf, fakta yang ada di masyarakat kita saat ini banyaknya pemabuk dan maraknya prostitusi. Mas Adi berusaha mengingatkan dengan lisan melalui ceramah dan ajakan secara personal namun selama ini belum berhasil bahkan kami justru dikucilkan. Maka satu bulan ini setiap malam Mas Adi memborong minuman keras dari toko-toko itu tidak diminum, namun kami telah sediakan lobang untuk membuang dan menghancurkan botolnya. Harapannya dengan berkurangnya minuman yang terjual, maka akan mengurangi beredarnya minuman keras, diharapkan pula dapat mengurangi pemabok di desa ini.
     Masalah yang kedua Mas Adi dituduh sebagai penzina. Kami maklum karena setiap malam beliau membawa kupu-kupu malam pulang ke rumah. Namun sebenarnya Mas Adi tidak menyentuh sama sekali.Karena para pelacur itu diajak ke rumah untuk disadarkan. Hal ini merupakan tugas saya untuk memberikan pencerahan dan mengajak mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Kami memberikan modal dan pekerjaan agar mereka bisa terlepas dari permasalahan, karena alasan mereka terjerumus rata-rata karena kesulitan ekonomi. Seharusnya ini tidak akan menjadi masalah, apabila semua transparan.
     Namun semua sudah terjadi, dan kami yakin ini jalan yang terbaik perjalanan kami untuk bertemu dengan Allah. Insha Allah apa yang  terjadi akan ada hikmahnya. Mas Adi juga berpesan bahwa kami sudah memaafkan semuanya, semoga akan ada perubahan positif di masyarakat.
Saya hari ini sangat berbahagia karena Mas Adi berpulang dengan penuh kebahagiaan, bahkan beliau berjanji akan menunggu saya di surga. Mohon doanya semoga husnul khotimah. Saya sebagai istri diberikan amanah semua harta ini semuanya untuk kemaslahatan umat. Oleh karena itu dalam forum ini saya amanahkan , apabila sesuatu terjadi kepada saya semuanya saya serahkan kepada umat. Sebagai penanggung jawab saya mohon Bapak Kyai Ma'sum berkenan menerima amanah.Terima kasih, Wassalamu alaikum warah matullahi wabarakatuh."
     Semua hadirin terisak , di wajah mereka terlukis penyesalan mendalam. Mereka serempak menjawab, " Wassalamu alaikum warahmatullahi wabara katuh." Bersamaan dengan berakhirnya jawaban salam terlihat Zulaiha limbung. Beberapa ibu yang di sampingnya berhasil menangkap tubuhnya.Pertolongan pertama langsung diberikan. beberapa saat Zulaiha sadar. Wajahnya pucat, namun senyum tetap berkembang di bibirnya. "Terima kasih semuanya, La illaha illalloh", wajahnya berpaling ke kanan diikuti  hembusan napas terakhir.
     " Innalillahi wa innailaihi rojiun."
     Sungguh Allah sangat menyayangi mereka berdua. Senyum teduh di wajah Zulaiha menggambarkan kebahagiaannya berjumpa dengan Rabb-nya.
Semilir angin tiba-tiba berhenti, matahari meredup turut berduka. Banjir air mata mengiringi kepergian mereka berdua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI