Mohon tunggu...
Fitri Hidayati
Fitri Hidayati Mohon Tunggu... Pendidik -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan di Antara Puing Gempa

16 Oktober 2018   00:23 Diperbarui: 16 Oktober 2018   16:31 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menyisir jalanan ini sendiri. Kulihat banyak orang hilir mudik melintas. Namun suasana  terasa sunyi mencekam. Raut wajah mereka redup, kabut menyelemuti wajah mereka. Ada beban  berat yang menekan. Tanpa  mengerti kenapa ini terjadi .

Beberapa orang  mengangis sambil matanya liar melihat kesana kemari . Ada sesuatu yang dicari , ekspresi galau penuh beban.  Tak tahu musti bertanya kepada siapa. Lidah mereka kelu tak mampu berkata-kata.

Mereka hanya diam dan terus berjalan menyusuri jalan yang susah dilalui . Jalan yang mulus kini  tak berbentuk lagi. Stunami kemarin sore telah  meluluh lantahkan segalanya dan  mengubah wajah kotaku . Berbagai macam benda menumpuk dan berserakan terbawa air . Bahkan kami kesulitan  meski hanya sekadar untuk  melintas.

.

Kondisi jalan rusak berat. Aspal terkelupas. Badan jalan tak terlihat lagi, bahkan sudah tak menggambarkan jalan. Tembok bangunan, pintu rumah, pagar, dan berbagai perabot rumah teronggok memenuhi jalanan. . Buah-buahan berserakan dan pohon -pohon tumbang melengkapi pemandangan di jalan ini.

Retakan-retakan panjang dan dalam menganga di mana-mana. Bangkai kapal,  puluhan mobil , motor , material - material rumah , seng , papan menumpuk , menjadi satu . Seolah ada   kekuatan yang sangat dahsat  yang mendorong dan menghempaskannya ke sebuah titik.  

Akses jalan menutup rapat  . Sungguh pemandangan yang mengenaskan sehingga orang yang lalu lalang kesulitan mencari celah untuk berjalan .

Aku berhenti. Mataku terpaku pada reruntuhan gedung yang menggunung.

Asaghfirullah, Gedung-gedung yang dulu megah dan kokoh . Bagai raksasa sakti penjaga pantai, kini tak berbentuk lagi.

Ngeri mulai menjalar dalam benakku saat akau membanyangkan  berapa nyawa yang terpendam di dalam reruntuhan itu.

Kota ini bagai kota mati. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan di sana. Tanpa penghuni. Jenasah berserakan membuat bulu kuduk makin bergidik. Bau anyir mulai tercium di mana-mana. 

" Terima kasih Ya Rabb,  syukur yang tak terhingga ku panjatkan kepada-Mu  karna Engkau  masih memberikan  keselamatan  kepadaku dan keluargaku. Masih Kau berikan waktu untuk bertaubat dan menguntai amal  sebelum waktu tiba tuk kembali pada-Mu." Tak terasa pipi ini basah oleh air mata.

Aku menarik napas Panjang. Ku seka air mata yang hangat menmbasahi pipi ini.

Masih segar dalam ingatanku saat aku pertama kali menginjakkan kaki di Kota Palu.

Aku langsung jatuh cinta dengan kota yang indah dan menawan ini.

Saat aku dikenalkan  kakakku  dengan keindahan teluk dari Pantai Talise, hanya satu kata yang mampu mewakili perasaanku. Luar biasa. Pemandangan  yang sangat memesona dengan keindahan panoramanya.

Di pantai ini terhampar pasir, semilir angin lembut membelai. Terasa   nyaman untuk melepas penat. Banyak pengunjung pantai tampak menikmati. Dari anak-anak , remaja. sampai orang dewasa. Mereka terhipnotis keindahan alam.  Banyak pengunjung yang  duduk-duduk menikmati semilir angin pantai. Namun banyak juga yang mengisi kegiatan  dengan melakukan aktivitas air. Ada yang  menyelam, memancing ,dan berenang. Tampak para nelayan juga sibuk mencari ikan. Semakin menambah keindahan pemandangan. Aku lebih suka berenang dan bermain di pantai. Sambil menunggu sunset ku rebahkan tubuhku . Ombaknya yang tenang bagai meninabobokkanku.

Saat senja tiba, pemandangan makin indah, matahari  tersenyum  , mengucapkan  salam perpisahan sebelum melangkah keperaduan di antara Gunung Gawalise . Bila  malam tiba, pantai ini makin memesona.  Lampu-lampu yang berkilauan , menambah indahnya pantai ini.

 

" Dek, ayo kita pulang!"

Suara kakakku menyadarkanku dari mimpi.

" Wah, aku tertidur Kak?"

" Yah, lelap banget. Tidur kok senyum-senyum. Emang mimpi apa?"

" Haha..mimpi ketemu Putri Duyung!"

Aku segera bangun sambal membersihkan pasir dari celanaku. Wow... indahnya, bisikku.  Aku tebarkan pandangan ke seluruh penjuru pantai. Subhanallah.... Betul yang aku dengar selama ini, malam hari di pantai ini memang luar biasa. Lampu -- lampu berkelap kelip bak kunang-kunang yang menghiasi taman Raja.

Aku masih terbengong. Sebuah sentuhan mendarat di pundakku.

" Ayo kita shalat dulu . Kakak perkenalkan dengan Masjid Terapung."

" Wao, di sini juga ada Masjid terapung Kak, aku kira hanya ada di Laut Merah."

" Ya, masjid ini hampir sama dengan masjid terapung di Laut Merah. Ayolah, Kakak yakin Adek akan puas nanti."

Dengan tak sabar aku segera beranjak dan menyusul kakak yang sudah terlebih dahulu melangkah menuju tempat parkir kendaran .

Sambil mengendarai motor, Kakak memberi isyarat, menunjuk ke suatu tempat. Dari jauh aku melihat sebuah bangunan yang dihiasi lampu-lampu . Semakin dekat semakin jelas.

Aku berdiri terpaku. Ku tatap bangunan masjid di hadapanku.Sebuah  masjid megah dan indah dengan  desain arsitektur cukup modern .Masjid Terapung Palu .

 Masjid ini didominasi oleh warna krem , tampak lebih manis  dipadukan dengan warna keemasan dan hijau pada seluruh bagian bangunan. Tampak 4 kubah kecil yang mengelilingi bagian sudut masjid  dan 1buah kubah besar.

Aku nikmati pemandangan indah di depanku. Para jamaah juga tampak sangat tertib memasuki masjid. Untuk menuju masjid apung ini, kami harus  melewati jembatan dengan hiasan lampu gantung di kanan kiri yang memukau.

Jembatan ini merupakan pintu gerbang menuju ke masjid. Masyarakat sekitar berbaur dengan para pengunjung sangat harmonis  berduyun-duyun memenuhi panggilan azan. Tampak para jamaah memadati masjid ini. Pengalaman pertamaku , shalat di masjid yang berada di atas laut dengan suasana yang sangat romantis.

Semua keindahan dan kenangan manis itu kini raib. Gempa dan tsunami yang menerjang kotaku ini kemarin malam tlah mengubah segalanya.

 Masih terbayang  kondisi saat itu. Kami dihentak sebuah goncangan dahsyat. Alam tergoncang memporak-porandakan semuanya. Pohon dan rumah ambruk. Diterbangkan angin bagai kapas.

Semua orang berhamburan berlari tanpa arah. Jeritan dan tangisan makin menyayat. Semua orang berusaha  menyelamatkan dirinya sendiri, tanpa peduli pada orang lain. Bahkan orang tua meninggalkan dan melupakan anaknya. Semua itu terdorong kepanikan dan keinginan menyelamatkan diri.

Manusia berhamburan, semua panik menyelamatkan diri .

Dalam pelarian tak tentu arah, mereka makin histeris saat tanah yang mereka injak terbelah .

Tanah terbuka lebar, sekitar 10 meter dengan kedalaman sekitar 5 meter.

Pemandangan makin memilukan , beberapa orang terperosok ke dalam tanah. Mereka terkubur

hidup-hidup bersama rumah dan harta bendanya. Banyak korban yang tak mampu diselamatkan.

Aku ternganga, tak mampu berkata-kata.  Seumur-umur baru kali ini aku melihat gempa

sedahsyat ini. Tidak hanya tanah yang bergerak, tapi rumah-rumah pun berjalan. Dalam sekejab

mereka sudah bepindah tempat yang cukup jauh.

Alam yang marah menelan segalanya. Korban nyawa dan harta benda sudah tak terbilang lagi.

Korban yang masih selamat segera dievakuasi . Mereka ditampung di daerah-daerah yang aman. Tenda-tenda darurat dan perlengkapan seadanya menemani hari-hari dalam pengungsian.

Trauma Panjang masih menghantui penduduk. Mereka masih memilih berada di tenda-tenda pengungsian. Enggan tuk kembali ke rumah mereka , dengan segala macam kemungkinan yang bisa saja terjadi. Karena beberapa kali gempa susulan masih terjadi.

 Sementara  akibat gempa dan tsunami menghancurkan infrastruktur. Listrik padam melengkapi derita . Sementara  sumur-sumur macet.  Air bersih sangat langka.

Kenapa bencana ini melanda kotaku? Apakah ini hanya semata-mata karena gempa tektonik sebagai penyebabnya? Apakah memang ini merupakan azab yang ditimpakan Allah kepada kami?

Aku melangkah lunglai di antara puing-puing  bangunan dan puluhan jenazah yang tlah ditemukan. Jerit histeris dan tangisan pilu  keluarga mereka makin menyayat. Tak mampu aku  menahan sesak dada ini.

Ya Allah, hamba  memohon ampunan atas segala khilaf dan dosa. Baik secara pribadi maupun semua warga Palu ini.  Hamba yakin semua yang terjadi atas kehendak-Mu. Bila Engkau telah berkehendak , tak mungkin ada yang bisa menghentikannya. Dan hamba yakin di balik semua peristiwa ini pasti ada hikmahnya.

Terlepas hal ini merupakan teguran ataupun azab. Hamba memohonkan ampunan bagi para muslim dan Muslimah yang telah Engkau panggil tuk kembali. Terimalah amal baiknya . Semoga husnul khotimah Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun