Mohon tunggu...
Fitri Hidayati
Fitri Hidayati Mohon Tunggu... Pendidik -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rapuh

26 Agustus 2017   11:39 Diperbarui: 29 Agustus 2017   08:23 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Ibu...maafkan Mama kami, Kami juga sangat menyayangkan sikap Mama. Kami sekeluarga merasa malu sekaligus kesal, Sejak Papa masih bersama Mama, Mama sudah sering bersikap kaku dan ingin menang sendiri, Mama orangnya bersifat  keras, ambisius dan egoisnya bukan main. Papa sering mengalahdan selalu memenangkan Mama, maksudnya biar Mama tidak makin merajuk sehingga Mama bisa lebih lunak. Namun ternyata Mama makin menggila, apalagi semenjak bertemu Pak Hans, Mama makin berani , bahkan sering Mama berani berbohong kepada Papa mengikuti beberapa kegiatan di Jakarta, padahal hanya ingin menemui Pak Hans. Papa mengetahui semuanya, tapi Papa berusaha menutupindan pura-pura tidak tahu, untuk menjaga nama baik keluarga. Kami anak-anak juga merasa malu, Mama sering memberi nasihat kepada orang lain namun ternyata sepak terjangnya makin menggila, apalagi saat mereka kasmaran, benar-benar terasa menganggu, bahkan mereka sudah kebal dengan rasa malu, mereka tidak sadar semua orang bisa membaca, termasuk anak-anak dan pasangan mereka."

Aku terdiam, aku bisa merasakan kekecewaan mereka.Mereka telah kehilangan segalanya, keutuhan keluarga, kebahagiaan, keharmonisan, ibu yang seharusnya penuh perhatian ke pada anak-anaknya justr u mengejar obsesi dirinya sendiri, membagi kasih sayang dengan orang lain. Mungkin inilah yang disebut emansipasi yang kebablasan. Seorang istri yang diberikan kebebasan oleh suami berkarier namun ternyatan justru disalahgunakan dengan alasasan menemukan kembali cinta sucinya. Lalu bagaimana dia memandang mahligai perkawinan yang mestinya lebih diagungkan? Bukankah sebuah perkawinan merupakan pengikraran janji suci di hadapan Alloh?Begitu mudah manusia membuat dalil sendiri untuk menutupi kekilafannya. Seharusnya tak ada yang dapat diragukan dari ketentuan Alloh, dan tak ada jodoh yang tertukar. Kalau kita tahu kelak akan mempertanggungjawabkan , tak mungkin kita berani melampaui batas.

Kami terbenam dalam pikiran masing-masing. Dalam keheningan itu tiba-tiba kami dikejutkan langkahseseorang yang semakin mendekat.

" Assalamu alaikum", seorang pemuda mendekat, wajahnya mirip Hans, apakah ini Al anak Hans semata wayang?

" Wa alaikum salam", serentak kami menjawab.

Ternyata benar , dia anak Hans, setelah berkenalan dia menanyakan kondisi bapaknya.

" Kita doakan saja Mas,semoga Alloh memberikan kesembuhan. ManaIbu mu kog gak ikut?" tanya ku berusaha mengalihkan  ketegangan.

Mata Al  tampak berkaca-kaca. Ada titipan dari Ibu untuk Tante Ratih. Sebuah surat disodorkan, Tak sabar segera aku buka surat itu,

" Assalamu alaikum. Apa kabar sahabat ku, Saat kau baca surat ini mungkin aku sudah pergi jauh.Aku hanya ingin menyampaikan kabar, bahwa akhirnya kami berpisah.Dia lebih memilihuntuk  menuruti kata hatinya bersama Meysa. Tapi bukan itu yang akan aku bahas, aku akan menyampaikan rahasia yang sudah lama aku pendam.

Ratih sahabat ku, ketahuilah, Hans selama ini tak pernah mencintai ku. Dia pernah menyampaikah hal itu pada ku. Sebenarnya kau lah cinta matinya, namun tiap kau diajak berbincang, kau sudah menutup peluang untuk bersama karena kau telah bersuami.Selama ini aku sudah berusaha untuk menjadi istri yang baik,aku berusaha memenuhi semua kemauannya,meskipun aku dalam kondisi sakit, namun ternyata dia tidak bisa menerimaku seutuhnya,sampai akhirnya datanglah Meysa dalam kehidupan kami. Jujur aku tidak rela. Kesedihan ku makin memperburuk kesehatan ku. Bila Alloh mempertemukan kalian kelak, aku iklas Hans untuk mu, aku titip Al ya, anggaplah dia seperti anak mu sendiri. Salam hangat persahabatan. Terima kasih"

Wassalam... Sahabat karib mu, Imas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun