"Jurusan apa dulu? Kuliah di mana? Komunikasi ya? Atau jurnalistik?"Â
Aku sudah bergabung menjadi pekerja media empat tahun lamanya, tapi pertanyaan tersebut masih seringkali mampir di telinga. Entah perbincangan saat bertemu teman sesama jurnalis dan narasumber.Â
Terkadang mengobrol dengan para public relation (PR) atau humas suatu lembaga, mereka juga melontarkan pertanyaan serupa.
Aku pun menjawab, "Bukan komunikasi atau jurnalistik. Aku lulusan sastra. Bukan Sastra Indonesia malah, Sastra Jepang."
Jawabanku pun kerap dibalas, "Oh, lulusan sastra. Kok bisa jadi jurnalis?"
Ada juga yang membalas, "Dikira (lulusan) jurnalistik atau komunikasi. Wah, anak sastra ya. Tetap nyambung lah ya sama dunia tulis menulis."
Profesi sebagai jurnalis lebih terkesan berasal dari orang-orang lulusan komunikasi atau jurnalistik. Tak heran, aku mendapat pertanyaan dan tebakan, "lulusan komunikasi atau jurnalistik ya."Â
Memang, sebagian besar teman yang menggeluti jurnalis dari jurusan komunikasi dan jurnalistik.
Walaupun begitu ada juga teman-teman sejawat dan senior yang menggeluti dunia jurnalis berasal dari lulusan sejarah, filsafat, ekonomi, dan politik. Alasan mereka bervariasi, dari menekuni hobi menulis sesuai bidang tertentu sampai yang tadinya sekadar mencoba berujung mencintai profesi jurnalis.
Berpindah dan berkarya dari satu perusahaan media ke media lain. Mencoba peruntungan mendirikan media daring sendiri, bahkan bisa mencapai posisi tinggi sebagai redaktur pelaksana, wakil pemimpin redaksi, dan pemimpin redaksi.
Si Anak Seminar (ASem)
Karier aku sebagai jurnalis bukan mendadak tercebur atau terjebak, tapi berawal dari hobi menulis. Mungkin karena aku termasuk orang yang kalem, pendiam, dan tidak banyak ngomong, tulisan jadi media aku menyalurkan pikiran.