Mohon tunggu...
Fitri Haryanti Harsono
Fitri Haryanti Harsono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis di Kementerian Kesehatan RI

Akrab disapa Fitri Oshin | Jurnalis Kesehatan Liputan6.com 2016-2024. Lebih banyak menulis kebijakan kesehatan. Bidang peminatan yang diampu meliputi Infectious disease, Health system, One Health, dan Global Health Security.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Kapan "Nyusul", Kapan Nikah?

1 Desember 2015   11:08 Diperbarui: 9 Agustus 2017   10:14 1397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Pertanyaan di atas memang cukup greget dan ‘wah’. Namun, bagi saya yang berusia hampir duapuluhlima tahun, pertanyaan tersebut amat bosan didengar.

Bagaimana tidak, setiap kali ada undangan pernikahan datang atau menghadiri suatu resepsi pernikahan, seringkali pertanyaan ‘kapan nyusul’, yang maksudnya ‘kapan nikah’ kerap terlontar dari teman-teman dan kenalan lainnya.

Oleh karena itu, saya kadang-kadang enggan hadir ke acara pesta pernikahan. Lebih tepatnya mood-mood-an sesuai kenyaman hati. Bukan tidak menghargai undangan si empu acara, melainkan saya malas mendengar pertanyaan yang serupa nyaris ribuan kali. Saya saja tertawa mendengar alasan sendiri.

Mengganggu

Saya tidak tahu, kenapa orang-orang di sekitar kerap menanyakan perihal ‘kapan nikah’. Mungkin hanya basa-basi, tapi apakah Anda berpikir, bagaimana perasaan hati orang yang ditanyai. Ada yang menjawab biasa-biasa saja, sekadar lewat dan meladeni pertanyaan dengan senang hati.

Ada pula yang mungkin ekspresinya seperti saya, tertawa terkekeh dilengkapi raut muka yang kurang menyenangkan dilihat. Mungkin si penanya akan bingung melihat ekspresi yang sama sekali tak bersahabat.

Mungkin pula si penanya bertanya-tanya sendiri, “Wong nanya kok disambut ekspresi nggak enak? Cuma nanya saja sensi. Padahal nanyanya kan baik-baik.”

Tidak bisa dipersalahkan juga si penanya bertanya demikian. Mereka juga tidak mungkin tahu siapa dan bagaimana diri kita. Ada pula yang kepala keras tahu alur kehidupan kita jatuh-bangun, tetap bertanya demikian enaknya.

Rasa sedikit terganggu datang menghampiri. Anda bisa saja tertawa, kok Cuma pertanyaan dua kata sampai dianggap ‘mengganggu’. Terutama mengganggu ketenangan hati.

Anda tidak akan tahu, orang yang Anda tanyai tengah berupaya memperbaiki diri dengan menerima kesendirian dulu. Untuk saat ini, jodoh belum hadir. Entah kapan hadirnya. Menikmati kesendirian rasanya jalan yang dilalui sekarang.

Saat pertanyaan ‘kapan nikah’ didengar, tebersit rasa agak minder dan gelisah. Minder karena melihat teman dan kenalan sudah di pelaminan atau sudah ada jodoh lalu mereka menunggu waktu naik pelaminan.

Gelisah karena memikirkan jawaban apa yang tepat. Pertanyaan, ‘kapan’ memang membutuhkan jawaban waktu. Bagi saya atau Anda yang masih sendiri dan jodoh belum hadir, jawaban untuk pertanyaan tersebut tidak pasti alias gelap dan buram.

Privasi

Saya memandang soal status hubungan dan jodoh termasuk ranah pribadi. Kotak privasi inilah yang sebenarnya tidak perlu banyak orang tahu. Toh, kalau sudah waktunya naik pelaminan, undangan dan kabar berita pun tersebar.

Kepo dan perhatian. Adakalanya, orang menanyakan sesuatu sebagai bentuk perhatian. Tandanya mereka memerhatikan kita alih-alih mungkin terdengar kepo alias ingin tahu sekali.

Pandangan Anda masing-masing mungkin berbeda. Ada yang menganggap biasa-biasa saja soal status hubungan dan merasa ‘baik-baik’ saja menanyakan perihal ‘kapan nikah’ kepada lawan bicara.

Ada pula yang tipe seperti saya, yang merasa ‘aneh’ dan terganggu dengan pertanyaan terkait hal tersebut. Sejujurnya, saya juga enggan bahkan tidak berpikiran untuk menanyakan ‘kapan nikah’ kepada teman-teman sendiri.

Kalaupun bertanya, teman yang menjadi lawan bicara saya pun sedang ‘sendiri’, belum bertemu jodohnya. Atau pertanyaan saya tujukan kepada teman terdekat yang sudah berpacaran lama. Artinya, saya tidak menanyakan pertanyaan ‘kapan nikah’ kepada banyak orang.

Di sisi lain, saya lebih baik menunggu kabar berita dari lawan bicara soal status hubungan dan rencana pernikahan. Saya pikir itu jalan ternyaman ketika seseorang mengungkapkan sendiri apa yang sedang dialami tanpa harus terlebih dulu saya bertanya.

Sebaliknya, kalau lawan bicara tidak mengungkapkan rencana pernikahan. Saya pun tidak mempermasalahkan dan kebangetan kepo. Itu urusan pribadi, saya memang tidak perlu tahu.

Undangan pernikahan datang, saya turut berbahagia dan berucap ‘Selamat menempuh hidup baru; selamat mengarungi bahtera rumah tangga.’ Lebih dari itu, saya tidak ada niat berkepo-kepo ria.

Dan chatting yang masuk ke ponsel saya lewat WhatsApp, LINE, Blackberry Messenger (BBM) menanyakan ‘kapan nyusul, kapan nikah?’

Saya membalas, “Nggak tahu kapan; belum ada jodohnya; belum ada laki-laki yang berani melamar (yang naksir sih banyak); lagi menikmati kesendirian dulu sampai waktunya tiba…”

Jawaban balasan saya rasanya sudah ribuan kali. Setiap ada yang bertanya demikian, saya menjawabnya serupa. Dan entah sampai kapan saya berhenti menjawab seperti itu. 

Jakarta, 1 Desember 2015

Ilustrasi: Themesdesk [dot] net

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun