Fitri Haryanti Harsono Saidil Anwar, No. 68
“Setahu aku belum ada tapi nggak tahu juga. Selama ini, dia dekat dengan teman sekantornya. Untuk hubungan lebih serius, ya cuma mereka berdua yang tahu,” tulis Dea saat aku chatting dengannya tiga bulan lalu.
Usai membaca jawaban Dea, kuempaskan tubuhku memeluk bantal. Aku memang tidak terlalu mengharapkannya. Dika, laki-laki putih dan tinggi. Di mata perempuan, dia terbilang ganteng.
Ini sudah setahun berlalu selepas wisuda kelulusan sarjana. Kami baru kali pertama bertemu beberapa waktu lalu. Selama ini komunikasi kami hanya terjalin lewat BBM (BlackBerry Messenger).
Yang kupikirkan, dia pasti sudah memiliki kekasih, entah teman sekantornya atau teman sesama bandnya. Sejak kuliah, Dika aktif nge-band bersama teman-teman satu angkatan.
Andaikan dia tahu, aku bukan mencintainya karena semata-mata dia ganteng. Ada sesuatu hal yang kulihat dari dalam dirinya.
***
Saat perjumpaan pertama itu, aku menanyakan apakah dia sudah memiliki teman perempuan yang dekat.
“Sekarang ini belum ada. Aku sedang mencari calon istri. Pertama, aku nggak mau pacaran. Kedua, kalau cocok langsung nikah,” jawab Dika sambil tersenyum lebar.
Aku mendengar jawabannya begitu terpaku. Dika, dia sudah berubah setahun ini. Pikiranku melayang pada cerita masa lalunya yang mempunyai beberapa mantan kekasih.
Dan saat kami kuliah, dia menjalin hubungan asmara dengan teman perempuan seangkatannya. Sedikit ragu, apakah ia menjawabnya dengan jujur atau tidak. Untuk itulah, aku bertanya pada Dea, yang satu kantor dengannya.
Aku, Dika, dan Dea berkuliah pada fakultas yang sama. Dika adalah seniorku. Tapi kami pernah satu kelas perkuliahan dan lulus bersama-sama.
“Kalau kamu gimana? Apa udah ada seorang laki-laki yang dekat?” tanya Dika balik.
“Hmm… Belum ada kok. Sepertinya aku ditakdirkan masih sendirian sampai sekarang ini,” jawabku singkat. Dika terkekeh lalu menyemangatiku suatu hari nanti pasti ada seorang laki-laki yang akan mendampingiku.
***
Jika kamu mencintai seseorang, maka ungkapkanlah perasaanmu. Mencintai diam-diam tanpa diketahui olehnya akan lebih menyakitkan.
Kalimat yang terus terngiang dalam benakku. Kuakui sejak pertemuan itu perasaan cinta kepadanya semakin kuat. Mungkin Dika masih menganggap aku sebagai adik kelasnya juga temannya.
Tidak ada yang tahu kapan hati berubah jadi cinta.
Aku sudah menyiapkan mental. Tak masalah dia menolakku. Kukirim BBM kepadanya.
Aku: “Maaf, mungkin aku lancang dan nggak sepantasnya mengatakan ini padamu. Mungkin kamu sebenarnya udah punya perempuan yang dekat.”
Dika: “Eh, ada apa ini? Kamu kenapa?”
Aku: “Aku sayang kamu, Dika.”
Dika: “Hah? Kok bisa?”
Aku: “Aku menyimpan perasaan untukmu sejak kita sekelas kuliah dulu, dua tahun lalu. Tapi waktu itu, kamu sedang pacaran. Aku hanya memendam perasaanku. Sekarang, kabarnya kamu sedang dekat sama teman sekantor ya?”
Dika: “Benarkah? Aku ingin dengar ceritanya. Dari siapa kamu tahu berita itu?”
Aku: “Dari Dea. Sekali lagi, maaf aku bertanya tentang kamu. Dan aku nggak sepantasnya ngomong ini. Aku nggak mau ganggu hubungan kamu dengan teman kantor kamu.”
Dika: “Oh, Mbak Dea. Eh, ya nggak apa-apa lah. Bukan hubungan serius seperti yang kamu maksud. Aku dan teman sekantor cuma teman dekat.”
***
Beepp… beepp… beeppp… Sebuah panggilan kantor menghamburkan layar BBM di ponselku. Ya, setelah percakapan itu, aku dan Dika semakin dekat. Namun, hubungan kami bukan sepasang kekasih.
Dia tidak mau pacaran. Aku pun juga tidak mau pacaran laiknya pasangan muda lainnya. Aku berniat hubungan serius untuk menikah dengannya.
Lagi-lagi siapa tahu, hati bisa sekejap berubah. Aku tak sengaja menyakiti hatinya. Dia pun menjauh. Entah sementara atau selamanya…
Dika san,
Mou aitakute, aitakute. Sore demo anata ni aitai. Atashi wa sonna warui koto o shiteita, hontou ni gomennasai. Demo anata ni mada koi o suru.
(Dika. Aku ingin bertemu denganmu. Sekarang dan selamanya, aku ingin bertemu denganmu. Semua hal buruk yang telah kulakukan kepadamu, aku sungguh-sungguh minta maaf. Tapi aku masih mencintaimu)
Aku tak pandai mengungkapkan perasaan secara lisan. Belum sempat kutulis surat cinta untukmu. Jika kutulis di selembar kertas putih, mungkin kamu tidak akan pernah bisa membacanya.
Dua tahun, aku menunggumu. Hanya menunggumu. Aku tidak akan pernah menyesal:
mengungkapkan rasa cinta dan sayangku kepadamu.
Jakarta, 2 Oktober 2015
Untukmu yang masih di hati,
Dika
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H