Aku: “Maaf, mungkin aku lancang dan nggak sepantasnya mengatakan ini padamu. Mungkin kamu sebenarnya udah punya perempuan yang dekat.”
Dika: “Eh, ada apa ini? Kamu kenapa?”
Aku: “Aku sayang kamu, Dika.”
Dika: “Hah? Kok bisa?”
Aku: “Aku menyimpan perasaan untukmu sejak kita sekelas kuliah dulu, dua tahun lalu. Tapi waktu itu, kamu sedang pacaran. Aku hanya memendam perasaanku. Sekarang, kabarnya kamu sedang dekat sama teman sekantor ya?”
Dika: “Benarkah? Aku ingin dengar ceritanya. Dari siapa kamu tahu berita itu?”
Aku: “Dari Dea. Sekali lagi, maaf aku bertanya tentang kamu. Dan aku nggak sepantasnya ngomong ini. Aku nggak mau ganggu hubungan kamu dengan teman kantor kamu.”
Dika: “Oh, Mbak Dea. Eh, ya nggak apa-apa lah. Bukan hubungan serius seperti yang kamu maksud. Aku dan teman sekantor cuma teman dekat.”
***
Beepp… beepp… beeppp… Sebuah panggilan kantor menghamburkan layar BBM di ponselku. Ya, setelah percakapan itu, aku dan Dika semakin dekat. Namun, hubungan kami bukan sepasang kekasih.
Dia tidak mau pacaran. Aku pun juga tidak mau pacaran laiknya pasangan muda lainnya. Aku berniat hubungan serius untuk menikah dengannya.