Mohon tunggu...
Fitri Haryanti Harsono
Fitri Haryanti Harsono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis di Kementerian Kesehatan RI

Akrab disapa Fitri Oshin | Jurnalis Kesehatan Liputan6.com 2016-2024. Lebih banyak menulis kebijakan kesehatan. Bidang peminatan yang diampu meliputi Infectious disease, Health system, One Health, dan Global Health Security.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

4 Berkah Penerang Lebaran

18 Juli 2015   15:21 Diperbarui: 18 Juli 2015   15:21 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebaran selalu memberikan hikmah yang tak terduga. Mungkin ada sebagian dari Anda kurang menyadari betapa kenikmatan yang diperoleh begitu besar. Rasa syukur tenggelam dalam kepuasan makan besar atau liburan ke pelbagai tempat.

Dalam satu hari kemarin, saya mendapat beragam 'penerangan'. Bukan sekadar makan-makan, kumpul bersama, tertawa puas atau jalan-jalan riang gembira, melainkan sebuah realitas kehidupan orang lain yang menjadi pelajaran berharga.

Nikmat sehat

Kesehatan merupakan nikmat nomor satu. Kita tidak tahu kapan dan bagaimana akhir hidup nanti. Acara kumpul bersama keluarga, bertemu teman, rekan, dan kenalan membuka mata hati. Kita masih dipertemukan Ramadan dan Lebaran tahun ini.

Tidak semua dari kita sehat dan hidup bisa menikmati suasana hari raya kemenangan. Saat puasa ada tetangga yang meninggal bahkan ada pula orang-orang yang ber-Lebaran dalam kondisi sakit parah. Duka memang menyelimuti, tapi mereka menerima kunjungan kita dengan senyum hangat.

Ucapan selamat Hari Raya Idulfitri 1436 H yang berisi kalimat, Semoga kita semua sehat dan dipertemukan kembali pada Ramadan tahun berikutnya mungkin terdengar klise dan bosan saking banyak orang menuliskan kalimat serupa. Di balik kalimat itu mengandung doa dan harapan, bukti kenikmatan sehat yang tak tertandingi.

Berkah rezeki

Kue dan penganan khas Lebaran termasuk wajib tersaji di meja. Tentunya, bagi Anda yang mampu membeli. Tapi bagi mereka yang kurang ekonomi atau kebutuhan makan sehari-hari saja susah, penganan sederhana, seperti kacang goreng terbilang baik.

Sekiranya ada yang disajikan untuk tamu. Dalam kunjungan pun, saat si empunya rumah menawarkan penganan, kita harus mencicipi, meskipun apa yang ditawarkan kurang sreg di mata. Hal ini kalau Anda berniat cukup lama bersilaturahmi di rumah yang bersangkutan.

Kadangkala, kalimat yang terlontar, Tidak usah repot-repot itu benar. Kita tidak mau merepotkan si empu rumah. Sebagai tamu, mencicipi penganan si empu rumah termasuk satu cara menghargai. Bila di posisi si empu rumah, kita pasti memberikan sajian terbaik dan senang para tamu menikmati apa yang disajikan.

Selain penganan, kita biasa membagi-bagikan 'angpao' Lebaran. Keberlimpahan ekonomi Anda pasti tidak terkendala jika membagi-bagikan 'angpao' tiap kali bersilaturahmi. Tapi bagi Anda dari kalangan biasa-biasa saja, tidak masalah Anda selektif memberikan 'angpao' Lebaran.

Terutama pada orang-orang terdekat yang kekurangan ekonomi. Bukan dilandasi rasa kasihan, tapi rasa ingin berbagi dan membantu mereka. Karena tidak semua orang yang kekurangan ekonomi mau dipandang kasihan. Ada yang menolak saat diberikan 'angapo'.

Hal yang penting, sedikit rezeki dari kita bisa bermakna lebih bagi mereka yang membutuhkan. Memberi dan menerima 'angpao' Lebaran termasuk berkah.

Hargai pertemuan

Ada rasa tidak enak saat berkunjung ke rumah kenalan, kita tidak membawa apa-apa, hanya bawa diri saja. Saya merasakan hal serupa, rumah kenalan terbilang dekat, tapi tidak membawa apapun saat bersilaturahmi usai salat Id.

Sejujurnya, ketika mengatakan ketidaknyamanan tersebut, si empu rumah tersenyum, Tidak perlu bawa apa-apa, yang penting kita bisa bertemu dan ngobrol bareng. Terima kasih, sudah datang.

Satu poin utama, kebersamaan bertemu orang-orang terdekat dinilai berharga. Apalagi momen Lebaran, yang hanya setahun sekali. Hari-hari biasa mungkin kita jarang bertemu dan sulit sekali menentukan pertemuan.

Sekadar ngobrol santai dan si empu rumah menerima kehadiran kita dengan hangat sesuatu yang patut disyukuri.

Berjiwa besar

Ketika bersilaturahmi, kadang si empu rumah membungkuskan penganan untuk kita bawa pulang. Menolak tidak enak, menerima pun ada rasa enggan. Sejauh si empu rumah amat berkecukupan, tidak masalah kita menghargai pemberiannya.

Sebaliknya, bagaimana bila si empu rumah dari ekonomi pas-pasan lalu membungkuskan penganan untuk kita? Ini momen yang terjadi pada saya tatkala bersilaturahmi ke rumah salah seorang kerabat. Untuk makan sehari-hari terbilang cukup susah.

Warung kelontong sebagai sumber ekonomi mereka tidak buka selama beberapa hari. Namun, mereka membungkuskan penganan untuk dibawa pulang. Saya sungguh tidak percaya. Mungkin tidak semua orang berjiwa besar dalam keadaan ekonomi sulit.

Tidak peduli keuangan rumah sulit, mereka tetap memberikan sajian terbaik bagi tamu. Di balik itu, mereka juga mendoakan kesehatan dan berkah rezeki. Penganan yang dibungkus terselip manfaat, meskipun penganan sederhana amat bahagia bila orang lain turut menikmatinya.

Rasa syukur dan menanam kebaikan seyogianya tidak hanya dilakukan pada momen suci Lebaran. Tidak pula sekadar ‘topeng’ semata.

Untuk ke depan, mari kita berlomba-lomba mensyukuri kenikmatan yang ada. Jangan pula pelit, mendoakan kebaikan untuk orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun