Terutama pada orang-orang terdekat yang kekurangan ekonomi. Bukan dilandasi rasa kasihan, tapi rasa ingin berbagi dan membantu mereka. Karena tidak semua orang yang kekurangan ekonomi mau dipandang kasihan. Ada yang menolak saat diberikan 'angapo'.
Hal yang penting, sedikit rezeki dari kita bisa bermakna lebih bagi mereka yang membutuhkan. Memberi dan menerima 'angpao' Lebaran termasuk berkah.
Hargai pertemuan
Ada rasa tidak enak saat berkunjung ke rumah kenalan, kita tidak membawa apa-apa, hanya bawa diri saja. Saya merasakan hal serupa, rumah kenalan terbilang dekat, tapi tidak membawa apapun saat bersilaturahmi usai salat Id.
Sejujurnya, ketika mengatakan ketidaknyamanan tersebut, si empu rumah tersenyum, Tidak perlu bawa apa-apa, yang penting kita bisa bertemu dan ngobrol bareng. Terima kasih, sudah datang.
Satu poin utama, kebersamaan bertemu orang-orang terdekat dinilai berharga. Apalagi momen Lebaran, yang hanya setahun sekali. Hari-hari biasa mungkin kita jarang bertemu dan sulit sekali menentukan pertemuan.
Sekadar ngobrol santai dan si empu rumah menerima kehadiran kita dengan hangat sesuatu yang patut disyukuri.
Berjiwa besar
Ketika bersilaturahmi, kadang si empu rumah membungkuskan penganan untuk kita bawa pulang. Menolak tidak enak, menerima pun ada rasa enggan. Sejauh si empu rumah amat berkecukupan, tidak masalah kita menghargai pemberiannya.
Sebaliknya, bagaimana bila si empu rumah dari ekonomi pas-pasan lalu membungkuskan penganan untuk kita? Ini momen yang terjadi pada saya tatkala bersilaturahmi ke rumah salah seorang kerabat. Untuk makan sehari-hari terbilang cukup susah.
Warung kelontong sebagai sumber ekonomi mereka tidak buka selama beberapa hari. Namun, mereka membungkuskan penganan untuk dibawa pulang. Saya sungguh tidak percaya. Mungkin tidak semua orang berjiwa besar dalam keadaan ekonomi sulit.