Mohon tunggu...
Fitri Haryanti Harsono
Fitri Haryanti Harsono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis di Kementerian Kesehatan RI

Akrab disapa Fitri Oshin | Jurnalis Kesehatan Liputan6.com 2016-2024. Spesialisasi menulis kebijakan kesehatan. Bidang peminatan yang diampu meliputi Infectious disease, Health system, One Health, dan Global Health Security.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Re: "Pelacur Lesbian, Guru Kehidupan"

15 Mei 2014   18:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:30 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_323749" align="aligncenter" width="640" caption="Talkshow Novel Re: karya Maman Suherman di TB Gramedia Depok, Minggu (11/5/14) [Dok: Pribadi"]"]"][/caption]

Pelacur lesbian. Dua kata yang membuat siapapun memiringkan kepala, mengernyitkan dahi bahkan bergidik, bukan seram melihat hantu, melainkan kata tersebut telah dicap “kotor”. Suatu “pekerjaan” yang “terpaksa” dilakukan demi bertahan hidup, meskipun masuk ke dunia malam nan kelam. Bagi khalayak umum terkesan “sampah masyarakat” yang harus diberantas.

Tidak ada seorangpun yang mengumumkan diri kelak punya cita-cita sebagai pelacur, terlebih lagi pelacur lesbian. Keterpaksaan dan kerasnya hidup secara tidak sengaja mempertemukan suatu “dunia yang asing dan baru”. Itulah garis besar kisah Re: yang ditulis Maman Suherman.


Nama Maman Suherman tidak asing lagi dalam dunia media. Kini, ia menjadi kreator acara “Indonesia Lawak Klub (ILK)” di Trans7. Sosok Maman muncul sebagai "notulen" yang biasa menyampaikan kalimat-kalimat bijak dalam ILK.

Sebuah novel Re: yang diangkat Maman dari skripsinya saat berkuliah di Kriminologi FISIP UI.


Saya menulis skripsi tentang pelacur lesbian, terjun kedalam sindikat pelacuran lesbian. Selama dua tahun jadi sopir dia, tanpa diketahui olehnya, bahkan (saya) diancam mau dibunuh. Dialah Re:...,” ucap Maman dalam acara Talkshow novel Re: di Toko Buku Gramedia Depok, Minggu (11/5).

[caption id="attachment_323751" align="aligncenter" width="359" caption="Maman Suherman sedang membaca "]

14001255411269847898
14001255411269847898
[/caption]

Demi merampungkan skripsi, Maman terjun observasi selama tiga tahun, bergelut dengan sindikat pelacuran di 6 kota di Indonesia, kemudian bertemu Re: seorang pelacur lesbian pada 1988. Hampir satu setengah tahun—sampai 1989—Maman menyelami dunia Re: lebih dalam.

Bayar utang

Re: adalah korban kekerasan seksual, lalu terjerumus dalam dunia pelacuran. Ia berjuang untuk membayar semua utangnya, perjuangan yang dahsyat. Maman bercerita tentang alasan Re: menjadi pelacur lesbian.


Re: hamil di luar nikah karena ia diperkosa oleh dua orang, yakni teman sekolah dan gurunya. Ia pun tidak mau melaporkannya ke polisi. Re: lari dari Bandung ke Jakarta, bermalam di hotel, tiba-tiba ada seorang ibu mengajak bermalam di rumahnya,” kata Maman.

Re: pun ditanya, apakah ingin mempertahankan bayi dalam kandungannya atau tidak, Re: menjawab mau melahirkan bayinya. Akhirnya, Re: berhasil mempertahankan kandungan hingga melahirkan.

Tiga bulan pasca-melahirkan, darah belum bersih, ibu tersebut memberikan daftar sewa rumah, sabun, sampo, pembalut wanita, dan segala keperluan lain yang dipakai Re: ikut dihitung. Tak disangka, kalau sang ibu yang dikira Re: adalah orang baik.


Bagaimana Re: menebus utang-utangnya? Bayar utang dengan melacur. Bagaimana melacur biar tidak menyebabkan penyakit macam-macam atau tidak hamil lagi? Melacurlah kepada perempuan. Jadilah Re: sebagai pelacur lesbian,” lanjut Maman.

Belajar kehidupan

Bagi Maman, Re: adalah guru kehidupan, bukan sekadar pelacur lesbian yang berharga rendah, sekali “pakai” lalu dibuang. Garis hidup berstatus pelacur yang terkesan “kotor” tak ubahnya korelasi yang semena-mena memperlakukan seseorang. Nasib Re: berakhir dengan tragis.

Tiga bulan sebelum menjadi skripsi, Re: ditemukan tewas terbunuh di jalan raya di bilangan Jakarta Pusat. Sehari sebelum meninggal, ia menitipkan segala harta dan barang-barangnya kepada seorang ibu yang mengasuh anaknya. Tak ketinggalan, sebuah “surat cinta” Re: yang berpesan,


“Tolong kabarkan apa yang telah saya alami ini kepada semua orang.”

Begitulah alasan Maman mengangkat novel Re: dari skripsi setebal 400 halaman. Tidak mudah menjadikannya novel sebab Maman harus meringkas sekaligus memperbarui data-data yang ada. Secara pribadi, kisah Re: memberikan gambaran sisi lain bahwa pelacur lesbian tetap seorang perempuan.

Pembelajaran dari sosok Re: yang ingin disampaikan Maman membuat terkesima, seakan kita tidak percaya atau baru mendengar bahwa seorang pelacur lesbian mampu berpikir demi sebuah penghidupan. Pertama, Re: adalah orang tidak pernah memaki takdirnya. Ditakdirkan secara tidak jujur oleh Tuhan, dilahirkan tanpa sosok seorang ayah.

Kedua, Re: tetap bertanggungjawab terhadap bayi yangdikandungnya, tidak boleh digugurkan. Anak adalah titipan yang di atas, hidup-matinya seorang anak berasal dari kuasa-Nya. Oleh karena itu, ia tidak berhak “memutuskan nyawa” seorang anak yang diamanatkan Tuhan kepadanya.


Anak perempuan Re: bernama Melur, kini sudah S2 dan tengah mengambil gelar doktor di luar negeri. Melur pun sampai hari ini tidak tahu-menahu bahwa ibunya adalah seorang pelacur. Ibu angkat yang mengasuhnya suatu saat akan memberitahukan nama ibu kandung Melur, hanya nama saja, bukan profesinya.

Ketiga, Re: termasuk tipe orang yang tidak suka mengeluh. Terpaan hidup yang harus “melayani” sesama perempuan, dijalaninya dengan rela, tanpa mengeluh. Maman menuturkan betapa ia malu mengeluh soal nilai mata kuliahnya, padahal Re: baru saja melayani ibu-ibu artis.


Tubuh Re: dibuat dalam keadaan berdarah-darah, bersilet-silet, lalu darahnya diisap demi kepuasan si ibu artis tersebut. Dan Re: menceritakan semuanya tanpa mengeluh. Kondisi yang dialami Re: jauh lebih berat dibanding apa yang dikeluhkan Maman.

Keempat, Re: adalah sosok perempuan pada umumnya yang berupaya memberikan kebahagiaan untuk anak perempuan semata wayangnya. Uang hasil melacur dititipkan kepada Maman untuk diberikan kepada Melur.


Rindu bertemu Melur, Re: hanya melihat anaknya dari kejauhan, tanpa mau berhadapan langsung. Maman membujuk Re: untuk bertemu Melur, tapi ia tidak mau. Sebaliknya, Re: menyuruh Maman untuk memeluk Melur, hingga membuat Maman bingung.


Saya kan pelacur. Saya tidak mau keringat tubuh ini menempel di tubuh suci anak itu (Melur). Kamu saja yang peluk dia…” ungkap Re: kala itu.

Maman pun mengabulkan permintaan Re: dengan memeluk Melur, yakin kalau Re: merasa bahagia meski hanya menyaksikan anaknya dari jauh.

Sisi lain

Novel Re: setebal 160 halaman mampu memikat pembaca, bukan novel fiksi dengan tokoh-tokoh fiktif, melainkan sebuah kisah yang diangkat dari kenyataan. Seluk-beluk gambaran dunia gelap, dunia pelacuran. Utamanya, novel Re: bukan mengumbar undercover adegan seks bebas atau kegiatan Re: melacur.


Kita dihadapkan pada sisi lain seorang Re:, pelacur lesbian yang berjuang demi lolos membayar segala utang serta kebahagiaan anak perempuannya. Pesan moral yang ditunjukkan termasuk jangan terlalu mudah menilai orang lain. Seorang ibu yang menawari Re: bermalam di rumahnya justru menjerumuskannya kedalam dunia pelacuran.

Awal bertemu orang lain bisa terkesan baik, tapi di balik ekspresi dan perilaku baiknya ada maksud tersembunyi. Mau tidak mau Re: harus membayar utang-utangnya dengan melacurkan diri. Jika tidak, mungkin saat itu juga nyawa Re: melayang sebelum bertemu dengan Maman.

Penulisan novel

Menilik novel Re: sungguh tidak lengkap tanpa perjuangan Maman menyelami dunia pelacuran. Narasumber Maman sebanyak 15 orang, yang notabene pelacur semua, 13 orang di antaranya harus meregang nyawa di depan mata. Perut mereka dicutter oleh germo-germonya. Keberanian Maman pada waktu itu yang masih berstatus mahasiswa.


Penulisan dalam bentuk novel pada 2012-2013, tapi Maman tidak puas sehingga ia kembali menelisik kehidupan malam untuk bertemu sindikat pelacuran lesbian, khususnya sindikat pelacuran di Indonesia yang merenggut “kehormatan” anak-anak perempuan.

Talkshow novel Re: serasa membuat para pengunjung TB Gramedia Depok terpikat akan sosok Re:. Setiap penuturan Maman disimak antusias pengunjung, pertanyaan yang mencuat lebih banyak soal pertemuan Maman dengan Re: juga tantangan Maman di lapangan mengumpulkan data-data.

[caption id="attachment_323753" align="aligncenter" width="640" caption="Para pengunjung TB Gramedia Depok antusias menyimak Talkshow novel Re: (Dok: Pribadi)"]

1400125979258287587
1400125979258287587
[/caption]

[caption id="attachment_323756" align="aligncenter" width="640" caption="Sesi Book Signing, antrean tanda tangan berjalan lancar (Dok: Pribadi)"]

1400126108737376412
1400126108737376412
[/caption]

[caption id="attachment_323758" align="aligncenter" width="640" caption="Usai Book Signing bisa langsung foto bareng Maman Suherman, sang penulis Re: (Dok: Pribadi)"]

14001262261185797190
14001262261185797190
[/caption]

Tentang Re:, jangan lihat kegiatan Re: melacurnya, tapi perjalanan kehidupan Re: membuka pengalaman jatuh-bangun, gelap-terangnya hidup. Tidak ada kerelaan ikhlas lahir-batin menjadi pelacur bahkan para pelacur pun berharap bagaimana caranya berhenti menjadi pelacur.

Sekali lagi kutipan Maman:


“Re: mungkin di mata kita cuma seorang pelacur lesbian, tapi buat saya, dia adalah guru kehidupan saya.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun