[caption id="attachment_328798" align="aligncenter" width="585" caption="Pohon kapuk raksasa tumbang di Depok, Jawa Barat (Foto via www.depok.go.id)"][/caption]
Fitri Haryanti Harsono Saidil Anwar, No. 83
“Jangan coba-coba lewat pohon kapuk raksasa mulai lepas maghrib. Nanti ada yang ‘ganggu’ lho! Bahkan bisa ‘diikuti’ sampai rumah. Kalau tetap berani lewat mah bukan berani, jelas nekat namanya.”
Lembar tulisan tanganku hampir setahun lalu terbuka begitu saja tatkala buku harian berwarna merah muda tersenggol jatuh dari meja kecil di sebelah tempat tidur. Mitos di atas telah turun-temurun dan menjadi buah bibir di antara warga Perumnas Depok Jaya, Jawa Barat, khususnya bagi warga Depok asli yang lahir maupun pindah pertama kali ke Depok Jaya.
Kota Depokku tercinta. Sebuah kota di pinggiran ibu kota Jakarta, sebelum pemekaran terjadi, Depok masuk dalam naungan Kabupaten Bogor. Sebuah kenangan meluncur di kepalaku. Lahir dan tumbuh besar di Depok, aku kenal baik dengan sang pohon kapuk raksasa.
Pohon kapuk raksasa seakan jadi ikon keramat di lingkungan tempat tinggalku. Tinggi menjulang dengan batang berdiameter 5,6 meter, akar-akarnya yang besar menjadi tempat duduk santai anak-anak yang bermain di sekitarnya. Dedaunan hijau, kapuk yang jatuh melayang-layang bak salju putih di tengah teriknya mentari.
Semilir angin terasa sejuk saat melewatinya. Pohon kapuk raksasa pun menjadi sarang nyaman burung-burung, suara kicau burung selalu terdengar. Puncak tertinggi pohon kapuk raksasa terlihat jelas dari atas jalan layang yang menghubungkan Jalan Margonda Raya dan Jalan Arif Rahman Hakim, berdekatan dengan Stasiun Depok Baru.
Itu dulu. Kini, cerita pohon kapuk raksasa tinggal kenangan. Mitos pun tidak berlaku lagi. Sejak tragedi mengerikan datang, malam nan kelam diiringi hujan deras. Kisah seram masih melekat di benak warga yang mengalaminya...
***
Oktober 2013.
Derrr! Petir menggelegar sampai memekakkan telinga. Di ujung utara sana terlihat kilat seakan membelah awan hitam yang menyelimuti langit sore. Prakiraan cuaca terpantau rata se-Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), hujan deras disertai petir dan kilat.
Depok tampak begitu muram sekaligus menyeramkan sore ini. Angin kencang berembus keras menerpa pohon kemuning, melati, soka, dan kamboja di halaman rumahku. Perlahan-lahan, keempat tanaman kesayangan Bapakku semakin miring, tak mampu menahan terpaan angin.
Hujan deras pun bertahan sepanjang malam. Dari balik jendela ruang tamu, jalan beraspal mulus tepat di depan rumahku terlihat sepi. Tidak ada seorangpun berjalan menembus hujan, hanya satu-dua motor atau mobil yang lewat.Dinginnya malam begitu cepat membuat mataku kantuk, sebelum pukul 22.00, aku sudah nyenyak memeluk guling di kamar.
Gukk… Gukk… Gukk… Grrr…!
“Aduh, si Doggy berisik!” gumamku tiba-tiba terbangun dari tidur. Doggy, aku memanggilnya demikian.
Anjing kecil berwarna coklat, kaki kanan belakangnya pincang. Ia dipungut oleh tetangga depan rumahku. Kasihan sekali anjing kecil tersebut. Saat ditemukan sedang mengais-ngais sampah, sekadar mencari sisa makanan di tempat pembuangan sampah.
Sejak tinggal di rumah tetanggaku, Doggy sering sekali menyalak, terutama malam atau dini hari. Entah kenapa sudah menjadi kebiasaannya. Sebaliknya, siang hari justru jarang terdengar suara gonggongannya. Kulirik jam dinding, tepat pukul 02.00 dini hari. Aneh, sudah seminggu ini, aku terbangun tepat pukul 02.00 dini hari.
Ada apa denganku? Apa yang sebenarnya terjadi? Tanpa adanya gonggongan si Doggy, tiba-tiba aku bisa terbangun, pikirku sambil menghela napas. Praktis, aku akan sulit tidur kembali. Hujan belum berhenti.
Sejenak kuambil ponsel. Hingga beberapa menit berlalu, aku keasyikan berselancar membaca berita dan ber-Facebook ria. Menatap layar ponsel jadi membuat mataku semakin melek. Di sisi lain, aku semakin heran. Si Doggy ternyata terus-menerus menyalak. Semakin lama gonggongannya malah semakin keras, diselingi nada geram.
Kupasang telinga baik-baik. Tidak ada suara apapun, kecuali bunyi srekk… srekk… srekk… Yang mungkin saja cucurut (sejenis tikus got – PEN)lagi mengejar mangsa. Selebihnya, sunyi senyap. Tidak mungkin pula ada pencuri karena pintu rumah tetanggaku, katanya telah dipasang alarm.
Jangan-jangan, si Doggy melihat “sesuatu”, makhluk astral dari dunia lain, kataku dalam hati. Binatang kan bisa melihat “tamu yang tak diundang” itu. Bulu kudukku pun berdiri. Merinding.
Tak dianya, gonggongan si Doggy menjadi pertanda buruk, “sesuatu” telah terjadi di lingkungan tempat tinggalku. Pagi harinya, berita gempar langsung tersiar di salah satu stasiun televisi swasta ternama. Berita di layar televisi menampilkan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok memakai jas hujan, ada wartawan juga warga yang berkerumun.
Hujan rintik-rintik masih mengguyur. Mereka menggerumuni sebuah pohon. Pohon dengan batang raksasa tumbang menghalangi lalu lintas jalan besar yang biasa dilalui warga. Aku tak percaya atas apa yang terjadi, tubuhku terpaku menyimak peristiwa yang sedang diberitakan.
“Pohon Kapuk Raksasa Berusia 50-an Tahun Tumbang di Depok, Jawa Barat”
***
Batang pohon kapuk telah terpotong menjadi beberapa bagian. Ranting-ranting pohon beserta dedaunannya berserakan ke mana-mana. Akar pohon terangkat ke atas sampai ke permukaan tanah. Empat rumah warga hancur tak bersisa tertimpa pohon kapuk raksasa tersebut.
“Pak, usia pohon kapuknya berapa tahun?” tanyaku memerhatikan batang kambium pohon kapuk raksasa. Aku menyerah, tak sanggup menghitung lingkaran serat-serat kambium demi mengetahui usia asli pohonnya.
“Ya, sudah 50-an tahun. Hmmm… Mungkin hampir mencapai 100-an tahun kali ya. Besar sekali kan ini batangnya,” ucap Bapakku menunjuk batang pohon yang belum sempat dipotong menjadi beberapa bagian. Kami ikut melihat langsung tempat peristiwa terjadi selang tiga hari pasca-tumbangnya pohon kapuk tua.
Pemandangan terhampar pada beton-beton dan tembok-tembok yang terserak di antara ranting dan dedaunan pohon kapuk. Jalan pun masih belum sepenuhnya bisa dilewati, hanya cukup untuk pejalan kaki dan kendaraan beroda dua saja. Jalan setapak dan tangga menuju rumah warga yang berdekatan dengan tujuh rumah itu tidak terlihat, tertimbun tembok.
Setelah puas melihat pohon kapuk yang tumbang, kami beranjak pulang ke rumah.
“Sedih juga tidak bisa lihat pohon kapuk lagi. Berarti saat Bapak pindah ke sini (Depok – PEN), pohonnya sudah ada kah?” tanyaku saat tiba di rumah.
Depok menjadi kota ketiga Bapak untuk menetap karena kantor almarhum kakekku (bapak dari bapakku – PEN) pindah ke Jakarta. Sebelumnya, Salatiga dan Semarang, dua kota tempat tinggal Bapak.
“Iya, Bapak pindah ke sini tahun 1977. Pohon kapuknya ya sudah sebesar itu,” jawab Bapak sembari mengambil air putih.
“Hah?!” spontan mulutku ternganga.
“Ada cerita seram tidak tentang pohon kapuknya, Pak? Selain, suara-suara kuntilanak atau sejenisnya,” sahutku cepat. Pertanyaan itu terlontar saja dari mulutku.
“Hmmm, ada kok. Pak Cahyo, tetangganya Pak RW pernah diganggu sama “penghuni” pohon kapuknya. Kapok dia, katanya tidak mau lagi lewat pohon kapuk lepas maghrib,” kata Bapakku sambil mengingat persis perbincangan dengan Pak Cahyo sehari usai pemberitaan pohon kapuk tua tumbang.
***
Lima bulan sebelum pohon kapuk tua tumbang.
“Pak… Pak… Bangun, Pak! Kenapa tidur di bawah pohon kapuk ini?” tanya Amir dengan wajah cemas sambil menggoncang-goncangkan tubuh Pak Cahyo, Ketua RW yang amat dihormatinya.
Amir, tukang sampah, senantiasa rajin salat subuh di masjid yang tak jauh dari pohon kapuk berada. Melewati pohon kapuk tua pukul 04.00 pagi bukan perkara sulit karena sudah biasa, meskipun suasana masih terselimut gelap. Suara-suara “halus” dibiarkan begitu saja.
“Hemmm… Nnggg… Haahhh?!” teriak Pak Cahyo setengah sadar saat melihat Amir.
“Lho, kamu, Amir! I… ni… saya kok bisa di si… ni… ya?” tanya Pak Cahyo dengan terbata-bata melihat dirinya berada di bawah pohon kapuk tua, lebih tepatnya bersandar di akar di atas permukaan tanah. Alas kaki pun tidak dikenakannya.
“Semestinya kan saya yang bertanya demikian, Pak? Kenapa Bapak bisa sampai ke sini? Mari, saya antar pulang ke rumah Bapak. Pasti orang rumah sedang bingung mencari Bapak,” ucap Amir sambil memegang lengan Pak Cahyo.
“I… i… ya… Mir,” balas Pak Cahyo dengan gemetaran. Kedua kakinya langsung lemas, muka pucat pasi. Kengerian melanda dirinya. Kalau tidak dibantu Amir, ia tidak mampu berjalan melangkah ke rumah.
Dugaan Amir ternyata benar. Bu Endang, istri Pak Cahyo dilanda khawatir, begitu pula Yudi, putra sulung Pak Cahyo. Mereka langsung menyambut Pak Cahyo dan Amir.
“Ya, Tuhan. Bapak darimana saja? Tiba-tiba menghilang, kirain salat subuh di masjid. Tapi ibu merasa ada yang tidak beres, sajadah dan baju koko Bapak yang biasa dipakai ke masjid masih terlipat rapi,” tutur Bu Endang.
“Biar Yudi ambilkan minum Bapak ya Bu,” kata Yudi melangkah ke dapur.
Pak Cahyo masih terbungkam. Diam.
“Tadi saya mau ke masjid. Pas lewat di bawah pohon kapuk raksasa, kok tumben ada orang yang tidur di situ. Saya dekati saja, eh tidak tahunya, Pak Cahyo,” kata Amir.
“Kenapa bisa sampai ke pohon kapuk raksasa malam-malam tadi, Pak?” tanya Bu Endang menunggu penjelasan suaminya.
Sesudah dikasih air putih. Baru sedikit tenang ekspresi Pak Cahyo.