Lukisan wanita di sebelahnya tampak “mengerikan” dengan paduan warna gelap. Warna hitam dan abu-abu cukup mendominasi. Wajah wanita dalam kedua lukisan sekilas tidak serupa, tapi posisi lukisan yang bersebelahan menunjukkan dua sisi berbeda. Putih-hitam dan terang-gelap.
Nikmat hidup modern yang berdampingan dengan segala macam gadget tidak selalu sempurna, ada sisi gelap permasalahan-permasalahan yang mendera, entah rasa jenuh, bosan maupun kesal bisa memicu kemarahan. Selain, dua lukisan wanita, foto-foto hitam putih berupa sorot bayangan menghiasi dinding.
Bayangan orang naik sepeda atau ibu dan anak sedang berpegangan tangan saat menyeberang jalan raya, Melalui bayangan, pesan yang tersimpan tetap nyata dan jelas akan aktivitas yang dilakukan. Di sebelah foto-foto hitam putih yang terpajang, sebuah ruangan dengan lukisan wajah wanita.
Wajah wanita terlukis semakin “menghilang”, tidak utuh. Hanya menyisakan sebagian wajah dengan satu mata, alis, hidung, dan bibir. Lukisan tersebut bersandar di tembok yang kusam dan kotor. Lampu-lampu di bawahnya memancarkan setitik penerangan. Roda kehidupan, manusia yang hidup akan mati. Perlahan-lahan semakin menghilang digerus masa.
[caption id="attachment_338050" align="aligncenter" width="512" caption="Lukisan wanita di sudut ruang kusam. (Arsip Pribadi)"]
Di pojok ruangan, simbol bajak laut, tengkorak dan pedangnya menimbulkan aura seram. Secara eksplisit, ruangan ini telah bertutur jelas dan tegas lewat karya seni yang dipamerkannya, sebuah alur kehidupan manusia, siapapun pasti akan melalui fase hidup dan mati.
Selama manusia hidup, waktu menimba ilmu seluas-luasnya terbuka lebar. Figur manusia dihiasi sinar hijau dengan buku-buku menumpuk ke atas menjadi perhatian pengunjung. Beberapa pengunjung menyempatkan berfoto dengan “Manusia Buku” tersebut.
[caption id="attachment_338051" align="aligncenter" width="480" caption="Figur "]
Bukan sekadar penghias
Kita dibuat takjub akan pameran seni kontemporer di sebuah gedung tua kawasan Kota Tua Jakarta. Tiada kata “tidak bersahabat” dari ruang yang menaungi karya seni tersebut. Antara karya seni kontemporer dan ruang usang mampu memghadirkan suasana berbeda.
Karya seni yang dipamerkan bisa “beradaptasi” dengan kondisi ruang yang sedemikan rupa—kurang kondusif—untuk sebuah pameran bahkan bisa dianggap kurang layak. Ruangan yang bisa dianggap sebagai gudang tua dan bobrok di sana-sini. Benang merah pun terjalin rapi mengurai makna karya seni yang dihadirkan.
[caption id="attachment_338052" align="aligncenter" width="512" caption="Atap ruangan Gedung Tjipta Niaga. (Arsip Pribadi)"]
[caption id="attachment_338053" align="aligncenter" width="512" caption="Pengunjung tetap menikmati pameran. (Arsip Pribadi)"]
Nuansa kehidupan, baik hitam-putih, gelap-terang, serta hidup-mati begitu menggugah jiwa. Pikiran kita diterbangkan melihat karya seni hasil kerja keras para seniman, bukan semata-mata menunjukkan estetika belaka. Rizki pun mengungkapkan karya seni yang dipamerkan bukan dimaksudkan sebagai penghias ruangan—nampak lebih indah.
Presentasi dan representasi mampu merobek asumsi terkait “yang lama” dan “yang baru”. Pesan lain yang tersampaikan bahwa tidak ada jarak antara “yang lama” dan “yang baru”. Celah menyatukan keduanya tidak ada yang tidak mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H