[caption id="attachment_338039" align="aligncenter" width="512" caption="Salah satu ruang pameran seni kontemporer di Gedung Tjipta Niaga, kawasan Kota Tua Jakarta dalam acara Kota Tua Creative Festival 2014 pada 21-22 Juni 2014. (Arsip Pribadi)"][/caption]
Bagaimana kesan Anda saat bersinggah ke sebuah ruang usang dari gedung lama yang menyajikan karya seni bernilai tinggi? Takjub. Tidak percaya. Aneh. Gagal paham.
Nuansa ruang pameran seni kali ini sungguh berbeda dari biasanya. Perbedaannya bisa dibilang seratus-delapan-puluh derajat. Kita biasa dimanjakan oleh ruang pameran seni yang apik, lantai mengkilap juga ruangan ber-AC. Apabila tidak ada AC, cukuplah kipas angin mendinginkan kepala dari teriknya matahari.
Bayangan ruang pameran seni yang nyaman akan pupus seketika tatkala menjejak di Gedung Tjipta Niaga yang masuk dalam kawasan Kota Tua Jakarta. Letak gedung mudah diakses dari Taman Fatahillah, tepat di seberang gedung terdapat Alfa Mart yang ramai dikunjungi pengunjung.
Pameran seni kontemporer di Gedung Tjipta Niaga merupakan salah satu rangkaian acara Kota Tua Creative Festival 2014 pada 21-22 Juni 2014 lalu. Rizki A Zaelani, sang kurator pameran dalam pengantarnya menyebutkan masing-masing karya seni dari para seniman mempunyai kekuatan makna tersendiri sebagai pelajaran juga hikmah dari sang waktu dan nilai kehidupan.
Jembatan dimensi
Sekelas gedung ternyata jauh dari sambutan berupa AC, lantai dan tangga modern ataupun dinding putih mulus. Pandangan mata menyapu pada lantai coklat dan merah bata khas zaman dulu. Hampir seluruh bagian dinding gedung, cat putih di sana-sini memudar.
Pun begitu dengan pilar-pilar tinggi menjulang, yang tersisa hanya warna asli abu-abu yang dilumuri semen. Di dinding tangga menuju ruang pameran seni terpapar lukisan paru-paru manusia. Gradasi warna setiap paru-paru berbeda. Seperti melihat potret rontgen dengan padu-padan warna gelap-terang.
Sesampainya di atas anak tangga terbentang dua ruangan di sisi kiri-kanan. Di selasar tangga, sebuah patung anak perempuan berpose duduk bersila dengan tangan kiri memegang cawan lilin, sedangkan tangan kanan dibuka lebar mengarah ke lilin. Dua telinga kelinci dan kepala tengkorak menghiasi kepalanya.
[caption id="attachment_338040" align="aligncenter" width="480" caption="Disambut patung di selasar tangga. (Arsip Pribadi)"]
Di seberang patung anak perempuan, berdiri figur manusia yang seluruh tubuhnya penuh terpasang kabel-kabel lampu yang terhubung pada dinding kaca di hadapannya. Lampu mati-menyala seakan menggambarkan hidup-mati manusia. Betapa mahalnya bila napas bergantung pada alat teknologi, pesan bersyukur atas hidup yang masih diberikan oleh-Nya.
[caption id="attachment_338043" align="aligncenter" width="512" caption="Figur manusia dengan lampu menyala-mati. (Arsip Pribadi)"]
Selasar tangga menjadi area penghubung antar-dua sisi ruangan. Sebuah jembatan dimensi.
Setitik keindahan
Melangkah ke sisi ruang sebelah kanan, mata disuguhi sesosok tubuh wanita. Melalui sela-sela kulit pisang, bagian tubuh, seperti wajah ataupun punggung sengaja disorot alias diperbesar untuk menonjolkan pandangan. Lukisan kulit pisang membentuk lentur tubuh wanita.
[caption id="attachment_338045" align="aligncenter" width="512" caption="Lukisan keanggunan wanita dalam teropong kulit pisang. (Arsip Pribadi)"]
Di depan lukisan tubuh wanita lewat kulit pisang, berdiri tiga buah figur abstrak tubuh manusia berkepala dedaunan dengan leher sebagai batangnya. Tersirat nilai kehidupan, manusia tumbuh dan berkembang. Segala pengetahuan dan kemampuan terus meningkat layaknya dedaunan di pohon yang makin rimbun.
Puas bergelayut pikiran dengan manusia bak pohon, langkah memasuki ruangan “tembus pandang”. Tiga ruangan tiada bersekat dinding, tembok, kaca atau semacam partisi. Ketiganya hanya dibatasi pilar-pilar kayu, sela-selanya berlubang menandakan pernah ada semacam dinding yang menutupinya.
Pintu di ketiga ruangan tersebut rasanya cukup berfungsi untuk mengambil foto dari sudut-sudut menarik. Sementara pengunjung yang sekadar melihat karya seni yang dipamerkan cukup berdiri di satu ruangan, pandangan mata sudah bebas menyimak dua ruangan lainnya.
Kondisi ketiga ruangan sungguh memprihatinkan. Tembok sudah mengelupas, tersisa warna kecoklatan, yang mencolok mata hanya cat merah di tengah-tengah tembok. Kesannya sengaja dibiarkan mencolok demi menampilkan “berwarna” di antara keprihatinan yang melanda.
Di ruangan pertama, sebuah pot bunga—lebih tepatnya botol berwarna biru—beserta bunga putih manis terlihat di atas meja kecil berada di sebelah pilar. Letaknya berada di hadapan tembok bercat merah tersebut. Ragam rongsokan kayu dan papan—entah bekas apa dahulu—tergeletak bersandar di tembok.
Di ruangan kedua, miniatur kapal berwarna keemasan terlihat gagah di tengah-tengah ruangan. Layar-layar kapal terkembang menyuarakan keberadaan kapal di manapun tetap berdiri, meski di ruangan yang terkesan bobrok. Mata beralih pada sebuah lukisan di depan jendela ruangan ketiga.
Lukisan seorang wanita dengan rambut panjang berkepang satu berupaya menaklukan banteng di hadapannya. Kepangan rambut wanita berhasil melilit leher banteng sehingga banteng hilang keseimbangan, miring ke kiri.
[caption id="attachment_338048" align="aligncenter" width="512" caption="(Kiri) Lukisan wanita berkepang menaklukan banteng. (Arsip Pribadi)"]
Ruangan yang bobrok membuat siapapun enggan sekaligus berpandangan tidak ada satu hal pun yang menarik isinya. Sebaliknya, ketiga ruangan di atas menghadirkan suasana berbeda. Ada setitik keindahan yang ingin disampaikan kepada pengunjung bahwa di ruang sesesak ini masih ada “kesegaran” nyaman akan seni.
Dua sisi
Sambutan memasuki ruangan di sisi lain selasar tangga cukup berkesan. Dua lukisan sosok wanita terpajang dengan ukuran besar di tengah-tengah ruangan. Satu sosok menggambarkan wanita lengkap dengan pakaian. Warna-warna cerah sungguh memainkan mata. Kesan gaul ala anak muda terlihat sang wanita memakai earphone di kedua telinganya.
[caption id="attachment_338049" align="aligncenter" width="512" caption="Dua sisi wanita. (Arsip Pribadi)"]
Lukisan wanita di sebelahnya tampak “mengerikan” dengan paduan warna gelap. Warna hitam dan abu-abu cukup mendominasi. Wajah wanita dalam kedua lukisan sekilas tidak serupa, tapi posisi lukisan yang bersebelahan menunjukkan dua sisi berbeda. Putih-hitam dan terang-gelap.
Nikmat hidup modern yang berdampingan dengan segala macam gadget tidak selalu sempurna, ada sisi gelap permasalahan-permasalahan yang mendera, entah rasa jenuh, bosan maupun kesal bisa memicu kemarahan. Selain, dua lukisan wanita, foto-foto hitam putih berupa sorot bayangan menghiasi dinding.
Bayangan orang naik sepeda atau ibu dan anak sedang berpegangan tangan saat menyeberang jalan raya, Melalui bayangan, pesan yang tersimpan tetap nyata dan jelas akan aktivitas yang dilakukan. Di sebelah foto-foto hitam putih yang terpajang, sebuah ruangan dengan lukisan wajah wanita.
Wajah wanita terlukis semakin “menghilang”, tidak utuh. Hanya menyisakan sebagian wajah dengan satu mata, alis, hidung, dan bibir. Lukisan tersebut bersandar di tembok yang kusam dan kotor. Lampu-lampu di bawahnya memancarkan setitik penerangan. Roda kehidupan, manusia yang hidup akan mati. Perlahan-lahan semakin menghilang digerus masa.
[caption id="attachment_338050" align="aligncenter" width="512" caption="Lukisan wanita di sudut ruang kusam. (Arsip Pribadi)"]
Di pojok ruangan, simbol bajak laut, tengkorak dan pedangnya menimbulkan aura seram. Secara eksplisit, ruangan ini telah bertutur jelas dan tegas lewat karya seni yang dipamerkannya, sebuah alur kehidupan manusia, siapapun pasti akan melalui fase hidup dan mati.
Selama manusia hidup, waktu menimba ilmu seluas-luasnya terbuka lebar. Figur manusia dihiasi sinar hijau dengan buku-buku menumpuk ke atas menjadi perhatian pengunjung. Beberapa pengunjung menyempatkan berfoto dengan “Manusia Buku” tersebut.
[caption id="attachment_338051" align="aligncenter" width="480" caption="Figur "]
Bukan sekadar penghias
Kita dibuat takjub akan pameran seni kontemporer di sebuah gedung tua kawasan Kota Tua Jakarta. Tiada kata “tidak bersahabat” dari ruang yang menaungi karya seni tersebut. Antara karya seni kontemporer dan ruang usang mampu memghadirkan suasana berbeda.
Karya seni yang dipamerkan bisa “beradaptasi” dengan kondisi ruang yang sedemikan rupa—kurang kondusif—untuk sebuah pameran bahkan bisa dianggap kurang layak. Ruangan yang bisa dianggap sebagai gudang tua dan bobrok di sana-sini. Benang merah pun terjalin rapi mengurai makna karya seni yang dihadirkan.
[caption id="attachment_338052" align="aligncenter" width="512" caption="Atap ruangan Gedung Tjipta Niaga. (Arsip Pribadi)"]
[caption id="attachment_338053" align="aligncenter" width="512" caption="Pengunjung tetap menikmati pameran. (Arsip Pribadi)"]
Nuansa kehidupan, baik hitam-putih, gelap-terang, serta hidup-mati begitu menggugah jiwa. Pikiran kita diterbangkan melihat karya seni hasil kerja keras para seniman, bukan semata-mata menunjukkan estetika belaka. Rizki pun mengungkapkan karya seni yang dipamerkan bukan dimaksudkan sebagai penghias ruangan—nampak lebih indah.
Presentasi dan representasi mampu merobek asumsi terkait “yang lama” dan “yang baru”. Pesan lain yang tersampaikan bahwa tidak ada jarak antara “yang lama” dan “yang baru”. Celah menyatukan keduanya tidak ada yang tidak mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H