anemia defisiensi besi. Defisiensi besi adalah malnutrisi mikronutrien tersering yang terjadi di seluruh dunia, salah satunya menyebabkan gangguan tumbuh kembang pada anak.
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang terjadi baik di negara maju maupun negara berkembang. Penelitian menunjukkan sebagian besar anak prasekolah di negara berkembang mengalamiPenyebab anemia defisiensi besi tersering pada anak adalah asupan yang tidak adekuat disertai dengan pertumbuhan cepat, berat lahir rendah, dan kehilangan komponen gastrointestinal salah satunya akibat konsumsi susu sapi yang berlebihan. Sehingga perlu diulas lebih lanjut terkait dengan anjuran asupan susu sapi pada anak terutama pada balita sebagai langkah preventif mewujudkan kesinambungan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat global.
Pengertian anemia sendiri adalah keadaan yang menunjukkan berkurangnya volume eritrosit atau konsentrasi hemoglobin (Hb) dalam tubuh. Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan disebabkan oleh berbagai reaksi patologis dan fisiologis. Anemia pada anak didefinisikan sebagai kadar hemoglobin dua standar deviasi di bawah nilai hemoglobin rata-rata pada usia anak tersebut.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2011 yang dipublikasi pada tahun 2015, terdapat 273,2 juta anak dengan anemia. Sebanyak 9,6 juta anak mengalami anemia berat. Wilayah Afrika, Asia Tenggara, dan Mediterania Timur dilaporkan mempunyai konsentrasi Hb rata-rata paling rendah. Sebanyak lebih dari setengah anak pada area Asia Tenggara dan Afrika (53,8% atau lebih) terdiagnosis anemia. Salah satu penyebab anemia terbanyak pada anak adalah anemia defisiensi besi.
Sebagian besar makanan pendamping ASI rendah zat besi kecuali jika diperkaya dengan zat besi. Buah-buahan dan sayuran juga rendah kandungan zat besinya. Daging dan makanan bayi terfortifikasi zat besi lainnya mengandung zat besi yang cukup, namun hanya dikonsumsi sedikit oleh anak. Mengingat ketergantungan bayi maupun balita pada makanan pendamping ASI maka tidak terlalu mengherankan jika mereka juga diberi susu sapi dan berisiko defisiensi besi.
Defisiensi besi adalah malnutrisi mikronutrien tersering yang terjadi di seluruh dunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling disoroti di negara berkembang. Zat besi memainkan peranan kunci dalam banyak proses biokimia, termasuk perkembangan neurologis, transportasi oksigen, dan metabolisme energi. Anemia defisiensi besi pada anak merupakan kondisi ketika zat besi dalam anak tersebut tidak cukup untuk mempertahankan fisiologis normal jaringan darah, otak, dan otot sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan salah satunya gangguan neurokognitif.
Langkah preventif pengurangan kejadian anemia defisiensi zat besi pada anak merupakan salah satu komponen masalah kesehatan masyarakat yang krusial karena berkaitan dengan defisit kemampuan kognitif dan perilaku anak. Beberapa etiologi anemia defisiensi besi meliputi asupan zat besi yang tidak adekuat, penurunan absorpsi zat besi, peningkatan kebutuhan zat besi, dan peningkatan kehilangan zat besi.
Pada anak-anak yang biasanya terjadi adalah asupan zat besi yang tidak adekuat salah satunya dengan konsumsi susu sapi. Konsumsi susu sapi telah lama dikaitkan dengan kekurangan zat besi terutama dengan gejala anemia. Karena selain merupakan makanan pokok bagi sebagian besar balita, susu sapi juga mengandung zat besi yang rendah.
Konsumsi susu sapi oleh bayi dan balita ternyata memiliki efek buruk terhadap cadangan besi mereka. Menurut beberapa penelitian dan penemuan, ada beberapa mekanisme teridentifikasi menyebabkan gangguan defisiensi besi dan berakibat pada anemia. Di antaranya adalah asupan nutrisi pada bayi maupun balita yang tidak adekuat, salah satunya dengan konsumsi susu sapi berlebihan pada balita tanpa adanya suplementasi besi yang mendukung.
Mekanisme selanjutnya yaitu inhibisi penyerapan zat besi jenis non-heme (yang berasal dari sayuran hijau dan kacang-kacangan) oleh kalsium dan kasein yang terdapat banyak pada susu sapi. Rekomendasi pemberian susu terfortifikasi di beberapa negara terbukti dapat melindungi balita terhadap efek negatif susu sapi. Kandungan tinggi protein pada susu sapi juga ternyata meningkatkan risiko obesitas saat anak-anak beranjak dewasa.
Penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk menentukan tingkat konsumsi yang tepat dari susu sapi pada anak-anak berusia 1 hingga 3 tahun. Berdasarkan penelitian saat ini, diperkirakan batas maksimal 16 ons (480 mL) setiap hari akan memungkinkan konsumsi lebih banyak makanan lain yang lebih bergizi sambil tetap memastikan asupan kalsium yang baik.
American Academy of Pediatrics (AAP) pernah membuat kebijakan untuk melakukan langkah preventif defisiensi besi pada bayi dan mengeluarkan rekomendasi asupan zat besi minimal. Namun hal ini belum diterapkan pada balita sehingga baru-baru ini penelitian menunjukkan sekitar 2% dari balita mengalami anemia defisiensi besi terutama disebabkan oleh kekurangan asupan zat besi.
Ternyata, balita juga sangat berisiko karena penyimpanan besi fetus (dari ibu) biasanya akan terkonsumsi di masa awal pertumbuhan (saat bayi) sehingga balita harus berpegangan pada asupan mandiri zat besi. Akibatnya, pencegahan primer maupun sekunder perlu dilakukan untuk mengatasi masalah anemia defisiensi besi pada anak, dimulai dari saat bayi hingga balita.
Asesmen yang baik pada anak harus mencakup keseluruhan penilaian faktor risiko kekurangan zat besi, termasuk volume susu sapi yang yang dikonsumsi setiap hari dan usia saat mulai minum susu sapi. Kepatuhan terhadap rekomendasi untuk bayi akan membantu memaksimalkan cadangan zat besi anak-anak yang memasuki tahun kedua kehidupannya.
Hal tersebut termasuk mendukung pemberian ASI, menggunakan susu formula yang diperkaya zat besi, memperkenalkan makanan kaya zat besi dan makanan yang diperkaya zat besi pada usia sekitar 6 bulan, menunda pemberian susu sapi hingga setidaknya 12 bulan, dan melakukan pengawasan khusus pada bayi berisiko tinggi, seperti bayi yang lahir prematur. Orang tua harus terus menekankan rekomendasi diet ini karena biasanya kerap tidak diikuti.
Walaupun memiliki banyak nutrisi dan manfaat, susu sapi rendah zat besi sehingga konsumsi yang berlebihan dapat menyebabkan kekurangan zat besi, terutama yang diikuti pola makan yang tidak seimbang. Beberapa negara telah menganjurkan suplementasi zat besi setelah usia pertama kehidupan. Fortifikasi susu sapi telah menunjukkan hasil yang menjanjikan pada satu populasi berisiko tinggi anemia defiesiensi besi.
Kemudian, idealnya, pencegahan sekunder mencakup mendeteksi anak yang mengalami kekurangan zat besi dan anemia defisiensi besi. American Academy of Pediatrics maupun World Health Organization juga merekomendasikan skrining defisiensi besi pada bayi berusia 9 – 12 bulan dan pemberian besi profilaksis pada bayi. Terakhir, pemeriksaan terhadap efek produk susu lainnya terhadap status zat besi juga diperlukan.
Daftar Pustaka
Oktaviani, Izzania et al. (2021). Prevalensi dan Faktor Risiko Anemia pada Anak di Negara Maju. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia 16(4), 218-226.
Ningrum, Nathalia et al. (2023). DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA ANAK USIA 0 – 18 TAHUN. Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti p-ISSN 0853-7720; e-ISSN 2541-4275 8(1), 99-111.
Williams J, Wolff A, Daly A, MacDonald A, Aukett A, Booth IW. (1999). Iron supplemented formula milk related to reduction in psychomotor decline in infants from inner city areas: randomised study. BMJ. Mar 13;318(7185):693-7. doi: 10.1136/bmj.318.7185.693. Erratum in: BMJ 2000 Jul 1;321(7252):23. PMID: 10074011; PMCID: PMC27777.
Steven A. Bondi, JD, MD, and Kenneth Lieuw, MD, PhD. Excessive Cow’s Milk Consumption and Iron Deficiency in Toddlers Two Unusual Presentations and Review. (2009). ICAN: Infant, Child, & Adolescent Nutrition. Department of Primary Care and Community Medicine, Irwin Army Community Hospital, Fort Riley, Kansas (SAB) and the Uniformed Services University of the Health Sciences, Bethesda, Maryland (KL). DOI: 10.1177/1941406409335481.
Ziegler EE. Consumption of cow's milk as a cause of iron deficiency in infants and toddlers. Nutr Rev. 2011 Nov;69 Suppl 1:S37-42. doi: 10.1111/j.1753-4887.2011.00431.x. PMID: 22043881.
Artikel ini ditulis oleh Fitria Zahra dan Widahanifa Nurhadi, mahasiswi S1 Kedokteran dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H