“Di belakang saya, dia melayang-layang dengan senyuman culas sehingga saya terus-terusan dilanda perasaan waswas, merasakan dia mendekat dan memperhatikan bokong saya dengan sebelah matanya itu.” (Semua Ikan di Langit, h. 218).
Latar suasana menakutkan yang dibuktikan dengan kutipan: “Menakutkan … menakutkan sekali …” (Semua Ikan di Langit, h. 215).
Penokohan
Terdapat enam tokoh utama di dalam novel, diantaranya; Bus Damri/Saya, Beliau, Nadezhda/Nad, Chinar, Para anak Chinar (C, H, A, R) dan si Jahannam. Bus Damri dan Beliau merupakan tokoh protagonis, Chinar dan para anak Chinar merupakan tokoh tritagonis sedangkan Nad dan si Jahannam merupakan tokoh antagonis.
Penokohan Saya selaku Bus Damri pemeran utama dalam novel. Bus dalam kota itu berusia kira-kira 33 tahun yang hampir dipensiunkan. Saya aktif bekerja sebagai bus dalam kota pada trayek Dipatiukur-Leuwipanjang di abad 21. Diceritakan bahwa Damri adalah bus yang bisa mendengar lewat lantai. Hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut:
“Sebagai bus, saya mendengar lewat lantai. Orang-orang yang menapak ke dalam saya, menginjak lantai saya, menceritakan sebagian dari hidupnya, sedikit demi sedikit, tanpa mereka sadari.” (Semua Ikan di Langit, h.16). Bus Damri adalah sosok yang setia. Hal ini dibuktikan dengan kutipan:
“Apapun yang Beliau lakukan, apapun yang terjadi, saya tetap akan terus mecintai Beliau dengan setiap jengkal besi di tubuh saya, setiap debu yang menempel, semua kaca jendela dan tiang pegangan dan seluruh deretan kursi.” (Semua Ikan di Langit, h. 171).
Bus juga sosok yang selalu ingin tahu, hal ini dibuktikan dengan “Akan tetapi, apa yang dilihat Beliau? Apa yang membuat Beliau marah?” (Semua Ikan di Langit, h.56).
Bus memiliki sifat penyayang, hal ini dibuktikan dengan “Perjalanan ini membuat saya menyayangi Beliau.” (Semua Ikan di Langit, h.63).
Penokohan Beliau merupakan sosok yang memiliki tingkah laku yang beragam dan sulit diduga. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut:
“Beliau menunggu di depan bunga itu sampai akhirnya Nad berhenti bersungut-sungut dan berjalan keluar pelan-pelan. Mengakui kekalahannya. Meski hatinya belum menerima. Lalu, ikan-ikan Beliau menjatuhkan batu di atas Nad. Dia penyek, dan tidak pernah berubah jadi ikan.” (Semua Ikan di Langit, h.166).