Oleh: Fitria Zahra
Karina, sosok remaja 15 tahun yang brilian, baru saja masuk ke SMA favorit di kota Jakarta. Sejak SMP, ia terkenal sebagai salah satu anak "pintar" di sekolahnya. Kehidupannya begitu sempurna.Â
Dengan sifatnya yang baik, ramah dan periang. Dia bahkan dengan percaya dirinya akan dapat melewati masa SMA-nya dengan gemilang. Namun siapa sangka, takdir berkata lain. Lika-liku kehidupan Karina yang awalnya mulus, mulai dipenuhi dengan cobaan dan rintangan. Dimulai dari masalah keluarganya.Â
Sejak SD, hubungan Bapak dan Ibu Karina memang tidak baik. Karena Karina anak semata wayang, dia tidak bisa membicarakannya kepada siapa pun. Setiap malam dia hanya bercerita kepada boneka tersayangnya sambil menangis. Kadang dia bangun sepertiga malam untuk beribadah dan meminta kepada Tuhan, jalan yang terbaik untuk segalanya.Â
Saat SMA kelas 2, orang tua Karina bercerai dan Karina memutuskan untuk tinggal bersama dengan ibunya. Namun, beberapa bulan setelah perceraian, ibu Karina jatuh sakit. Akibat Ibunya tidak bekerja karena harus di rawat di rumah sakit, Karina tidak bisa membiayai kehidupan sehari-harinya.Â
Karina akhirnya memutuskan untuk berhenti sekolah sementara waktu dan mulai bekerja. Dia mencari uang untuk biaya rawat Ibunya di rumah sakit dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Karina bekerja paruh waktu sebagai asisten toko kue milik tetangganya dan menjadi tutor mata pelajaran untuk adik-adik kelas yang hendak masuk ke SMA tahun depan.Â
Setelah perceraian dengan ibunya, Bapak Karina menikah lagi dengan seorang wanita keturunan Perancis. Setelah tau akan kondisi Karina setelah Ibunya di rawat, akhirnya bapak Karina menawarkan Karina untuk tinggal bersama keluarga tirinya sementara waktu. Disana lah, Karina bertemu dengan James, anak semata wayang istri Bapak Karina yang baru. Ternyata dia seumuran juga dengan Karina.Â
"Jangan duduk di kursi itu!", pintah James kepada Karina yang sedang membaca novel di hari pertama Karina tinggal.
"Memangnya kenapa?", balas Karina kebingungan.
"Itu kursi khususku. Kamu duduknya di kursi kecil di sebelah maja itu", seru James kembali. Pertemuan awal James dan Karina sangat tidak baik. Ibu James tidak suka dengan kehadiran Karina karena dianggap membuka kenangan lama Bapak. Oleh karena itu, James ikut-ikutan tidak suka dan berbuat semena-mena terhadap Karina.
Meskipun begitu, Karina cuek dan tidak peduli. Sifat Karina itu membuat James semakin kesal dan ulahnya menjadi-jadi. Hingga pada suatu ketika, James dihadangkan ujian penting untuk besok. Karena tidak mengerti apa-apa, James meluapkan emosinya dengan berteriak keras dan membuang barang-barangnya ke lantai.
Karina tidak tahan dengan suara James yang berisik. Saat ia tiba, Karina terdiam. Ia iba melihat James yang tidak pernah belajar berusaha susah payah mengerjakan soal di depan kertasnya.Â
Pada akhirnya Karina menawarkan James bantuannya. Memang awalnya James keras kepala, namun siapa sangka dengan kecerdikan Karina, James luluh dan ia pun meminta Karina mengajarinya. Memang awalnya hubungan James dan Karina tidak baik, namun lama-kelamaan mereka bisa mengerti satu sama lain dan semakin akrab.Â
Di hari ulang tahun Karina, James memberikan kejutan kepada Karina dengan memberikannya sebuah boneka teddy yang gagal diambil Karina saat bermain ke arcade kota. Kemudian mereka jalan-jalan ke pesisir pantai untuk bersantai sambil melihat pemandangan. Karina melihat jam tangannya, dan jam menunjukkan angka satu.
"James, maaf, tapi aku harus segera pergi", kata Karina, raut wajahnya tidak tenang.Â
"Hei, kenapa memangnya? Cobalah untuk bersantai dan tidak memikirkan pekerjaan-pekerjaan sampinganmu itu. Tenang, ayah kita akan menalangi biaya hidupmu sepenuhnya. Mari kita bersenang-senang, Karina!", jawab James yang membuat Karina kecewa karena sebetulnya Karina ingin menjenguk dan menemani ibunya.Â
"Hhh, tidak bisa, James. Aku benar-benar harus pergi", kata Karina kembali.
"Ayolah Karina, hari ini hari bahagia-mu. Ah! kita makan-makan dulu yuk di kedai itu. Katanya itu kedai yang enak", sahut James sambil menarik Karina menuju kedai.Â
Beberapa jam berlalu dan saat mereka sedang duduk-duduk di batu dekat pantai dengan diam, tiba-tiba saja ponsel Karina berbunyi. Itu telepon dari rumah sakit.Â
Ternyata kondisi Ibu Karina semakin kritis. Ibu Karina yang awalnya membaik, malah drop dan sekarang dalam keadaan koma. Karina sangat terkejut dan hampir menangis. James yang mendengar kabar itu juga terkejut, untung saja James sigap, tidak bertanya banyak dan langsung mengantarkan Karina ke rumah sakit Ibunya.Â
James baru tau Ibu Karina dirawat di rumah sakit. Aku masih belum mengenal Karina dengan baik, pikir James dalam hati. Beberapa jam ke depan Karina menemani Ibunya. James ikut menemani Karina dengan menunggu di luar kamar pasien. Karina sesekali menangis.Â
Dalam diam, ia menyesali perbuatannya yang tidak berada di sisi Ibunya terus-menerus dan selama beberapa minggu sebelumnya selalu pergi jalan-jalan dengan James. James yang mendengar tangisan Karina dari pintu luar ruangan, hatinya pilu. Dan sama seperti Karina, James menyesali perbuatannya yang selalu mengajak Karina jalan-jalan tanpa menghiraukan keadaan Karina yang ternyata ia harus menjaga ibunya.Â
Kemudian James langsung pulang dengan perasaan kecewa dan amarah yang menggebu. Dia merasa tidak pantas menjadi teman Karina karena sikapnya yang egois dan ceroboh. Sehingga selama beberapa minggu kemudian, James selalu menghindari Karina ketika Karina sedang di rumah Bapaknya. Karina bingung atas perilaku James yang menghindarinya tiba-tiba.Â
Bahkan, di saat-saat tersulit Karina saat menjaga ibunya, James masih saja menjauhi Karina. Padahal Karina membutuhkan seorang teman. Sejak kecil memang Karina tidak punya teman yang benar-benar peduli dengannya. Karena kebanyakan orang berteman dengan Karina karena ia populer, pintar, kaya dan cantik.Â
Di tengah malam yang sunyi saat Karina ketiduran menemani ibunya, tiba-tiba saja tangan ibu Karina bergerak dan menyalakan alarm kamar rumah sakit. Karina terbangun dan memegang tangan ibunya perlahan.Â
"Ma, Mama masih disini kan?", seru Karina pelan.
"Jangan tinggalkan Karina ya, Ma. Karina tidak punya siapa-siapa lagi selain Mama", ucap Karina hampir mengeluarkan air matanya. Matanya terpejam sambil memegang tangan ibunya dengan erat.
Ibu Karina akhirnya terbangun setelah beberapa minggu koma. Ia menatap Karina dengan tulus dan berusaha berbicara dengan suara yang sangat pelan.Â
"Mama, Karina disini. Mama haus? Mau Karina ambilkan minum?", tanya Karina.Â
Ibu Karina menggeleng dengan pelan, kemudian dengan isyarat tangan, meminta Karina untuk mendekat. Saat Karina sudah mendekat, Ibu Karina tersenyum. Ia berkata dengan pelan.
"Mama mimpi kamu punya teman laki-laki..? Dia pemuda yang gagah nan rupawan. Egonya sedikit tinggi, namun dia tulus menyayangi kamu apa adanya", dengan lirih Ibu Karina berkata demikian.Â
Karina kaget karena tidak menyangka ibunya tau mengenai James, "teman" baru Karina.Â
"Mama kok tau aja, aku punya teman baru", jawab Karina berusaha untuk mencairkan suasana karena suara Ibu sangat lemah, hampir tidak terdengar.Â
Karina mencoba untuk terlihat tegar di depan Ibunya.Â
"Iya, Mama tau dong. Kan kamu anak tersayang Mama, hehe", jawab Ibu kembali.Â
Air mata Karina tak kuasa lagi menahan kepedihan yang sedari tadi ia pendam di depan ibunya. Tak ada pilihan lagi, air mata Karina menetes pelan. Dengan penuh keputusasaan Karina berkata, "Mama harus kuat ya. Karina akan berjuang terus demi Mama. Maka dari itu, Mama juga berjuang ya untuk Karina. Karina akan-",
"Karina sayang, waktu mama tinggal sebentar lagi", cela Ibu Karina.
"Mama awalnya khawatir karena jika Mama pergi, kamu tidak punya siapa-siapa selain Bapakmu itu. Tapi Karina sudah besar ya ternyata. Kamu sudah punya 'teman'. Mana teman kamu itu? Mama mau berterima kasih karena telah merawat permata Mama satu-satunya..." kata Ibu Karina, suaranya semakin pelan.
Karina tidak kuasa menahan air matanya dan akhirnya menangis deras.
"Mama, jangan pergi. Mama.. Ma... Tetap bersama Karina ya sampai tua. Mama, Karina mohon jangan-", tepat saat Karina hendak melanjutkan perkataannya, mesin detak jantung mengeluarkan suara beep panjang.Â
Ibu Karina telah tiada. Hari itu, Karina kehilangan satu-satunya matahari dalam hidupnya. Semenjak kepergian ibunya, hidup Karina hampa. Karina ditawarkan Bapak untuk menetap tinggal dengan keluarga barunya, yang berarti Karina akan bertemu lagi dengan James. Selama beberapa hari, kondisi Karina makin lama makin buruk. Bagaikan lampu yang kehabisan baterai, tidak ada lagi energi yang tersisa.Â
Hingga saat akhirnya Karina kembali bersekolah pun, Karina tidak fokus dan ekspresinya selalu suram. Dia bahkan tidak mendengarkan penjelasan Bapak/Ibu guru sama sekali, tidak seperti Karina biasanya.Â
Saat pulang sekolah, terlihat sosok yang familiar di depan gerbang sekolah. Ternyata itu James. Dia menunggu Karina sedari tadi. Karina tidak peduli, dia lewat saja dan mengabaikan James yang seperti ingin mengatakan sesuatu. Setelah Karina melewati gerbang, pergelangan tangan kanan Karina digenggam seseorang, itu tangan James.Â
"Lepaskan, James. Aku tidak tertarik", kata Karina ketus.
James tidak menggubris pintahan Karina dan membawa Karina menuju taman depan sekolah.
"Dengarkan aku, Karina. Aku-"
"Sudah cukup. Aku mau pulang", cela Karina, ketus.
"Tolong, dengarkan lima menit saja. Aku mohon", balas James. Ia nampak putus asa.
Setelah beberapa saat, akhirnya Karina memutuskan untuk mendengarkan James karena tidak tega. James datang jauh-jauh ke sekolahnya yang ada di seberang kota.
"Aku minta maaf atas segala kecerobohan dan keegoisanku, aku selalu mengajakmu untuk melanjutkan jalan-jalan tanpa memikirkan kondisimu saat itu. Aku sangat tidak perhatian. Aku harap kamu dapat memaafkanku dan aku mengajakmu untuk memulai kembali semuanya. Aku sangat terpukul atas wafatnya Ibumu, dan lagi aku tidak tahan dengan kamu yang tidak seceria dulu. Aku telah belajar dari kesalahanku dan aku akan menjadi temanmu yang baik, yang selalu mendukungmu", kata James dengan muka penuh penyesalan.
Belum ada respon dari Karina. Dia masih berdiri tegak di depan James. James menunduk, tak kuat melihat reaksi Karina. Setelah beberapa saat, tiba-tiba saja Karina melangkah maju dan memeluk James. Karina menangis deras. Selama ini Karina memendam apa yang selama ini dia rasakan. Saat pemakaman Ibunya, Karina tidak terlihat menangis, walaupun pandangannya hampa dan raut wajahnya menyiratkan kesakitan yang dalam. Dia berpura-pura tegar menghadapi masalahnya sendirian. Ia tidak pernah mengalami hal yang begitu menyedihkan seperti ini saat SMP dulu. Kehidupan SMP Karina memang sempurna.
Namun, semenjak James datang, satu-satunya tempat Karina bercerita adalah James. Tapi semenjak insiden Ibu Karina dalam kondisi kritis, James menghindari Karina terus menerus. Padahal dia sangat ingin James menemaninya saat ia sedang mendampingi Sang Ibu.Â
Karina berkata, "Mungkin dulu aku sempat kesal karena ajakanmu itu. Memang karena itu, aku tidak bisa mendampingi Mama lebih lama. Tapi aku tidak pernah membencimu karena itu, James. Dibanding itu, aku harusnya bersyukur kamu selalu ada saat aku berada dalam titik-titik terendah dalam hidupku. Sayangnya, kamu menghindariku saat itu. Tapi tidak apa, itu sudah berlalu. Ibu juga senang dengan kehadiranmu bagai bulan yang selalu bersinar dalam gelapnya malamku. Terima kasih atas segalanya dan maaf juga jika aku belum menjadi teman yang baik untuk kamu".
Setelah James dan Karina berbaikan, Karina terbantu perlahan untuk bangkit dari keterpurukannya. Karina, remaja 16 tahun itu bangkit kembali menjadi Karina yang dulu. Sosok periang yang cantik, pintar dan baik itu kembali memenangkan berbagai lomba dan menjadi juara di kelasnya. Karena James ingin terus bersama Karina, akhirnya ia pindah ke sekolah Karina dan mereka menjadi sahabat yang tak terpisahkan hingga mereka dewasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H