Mohon tunggu...
Fitriyah
Fitriyah Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Menulis adalah cara untuk berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ruang Hati

14 Oktober 2022   13:25 Diperbarui: 14 Oktober 2022   13:29 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan Revan seolah aku menemukan duniaku. Revan suka menulis, aku juga. Revan suka menghabiskan waktu untuk membaca buku, aku juga seperti itu. Sedangkan Mas Arya lebih suka mengotak-atik Corel Draw di layar komputernya. Terkadang saat lenggang suka dihabiskan untuk menggambar. Menggambar apapun. Pernah dia tertawa saat melihat aku menggambar pohon. Katanya lebih mirip tiang listrik karena hanya tegak lurus. Tapi setelah itu dia mengajari aku menggambar macam-macam. Aku merasa Mas Arya mencoba memasukan aku dalam dunianya. Seringkali aku mengajak Mas Arya ke perpustakaan, tapi belum sampai setengah jam dia sudah keluar alasannya karena bosan. Suasana sepi dengan berderet-deret rak di buku katanya menambah suasana mencekam. Bagiku itu tenang tapi bagi Mas Arya itu horor.

"Tiana... tiana..!!""

Revan berulang kali memanggil namaku. Ternyata aku asyik melamun sendiri. Aku hanya bilang maaf. Revan mengusulkan berbagai ide untuk konsep acara kami. Aku mencoba untuk memberikan tanggapan dan memberikan beberapa pendapatku mengenai konsep yang dibuat Revan. Sesekali aku melihat ke arah tangga, berharap teman-teman lainnya segera datang. Karena aku tidak nyaman hanya duduk berdua dengan Revan meskipun kedai sedang ramai pengunjung. Aku tahu dari teman-teman komunitasnya bahwa Revan diam-diam menyukaiku. Dan itu membuatku semakin tak nyaman karena perlahan sepertinya aku mulai mengagumi Revan.

Aku memandang ke arah jendela. Di bawah tampak jalanan penuh kendaraan lalu lalang. Kedai dua lantai ini letaknya dekat dengan pertigaan jadi tidak heran banyak kendaraan melintas dari tiga arah berlawanan. Di seberang kafe ini tampak berderet ibu-ibu penjual nasi Boran. Aku menelan ludah saat kulihat seorang ibu melayani pembelinya. Tampak bumbu boran yang begitu menggoda. Ah, aku jadi kembali teringat Mas Arya. Sudah beberapa hari ini pesan dan panggilannya kuabaikan. Aku masih marah karena Mas Arya selalu sibuk dengan pekerjaannya padahal tiga bulan lagi kami akan menikah.

***
Rani tertawa keras. Menertawakan cerita konyolku yang kemarin salah membawa remote AC pulang ke rumah. Mengira itu adalah ponselku. Rani masih saja tertawa, lesung pipinya terlihat semakin tegas. Menambah kesan cantiknya. Tiana tidak pernah tertawa seperti ini. Dia selalu menutupi mulutnya saat tertawa. Rani wanita enerjik, Tiana sangat lembut dan kalem.
"Mas, Arya lucu ya. Kok bisa sampai salah bawa remote AC. Mungkin efek kecapekan itu mas gara-gara lembur kemarin."

"Mungkin juga ya. Jadi tidak fokus. Dan jam delapan malam aku harus balik ke kantor buat ambil ponselku. Untung saja tidak ketemu hantu." Aku tertawa diikuti suara tawa Rani.

Setelah capek menertawakan kekonyolanku, Rani memesan segelas minuman bersoda. Dia sangat suka minuman ringan bersoda. Beda dengan Tiana, dia tidak suka minuman bersoda karena menurutnya tidak baik untuk kesehatan. Terlalu seringnya aku dan Rani dipertemukan dalam satu proyek, membuat aku mengenalnya lebih jauh. Membuat hubunganku dengan Rani semakin dekat.

Di hadapanku, Rani bercerita panjang lebar. Kadang disertai derai tawa. Tidak peduli kalau Pujasera telah banyak pegawai yang mulai makan siang di sini. Tidak dengan Tiana, setiap bertemu dia suka menjadi pendengarku. Dia akan menanggapi ceritaku dengan antusias. Dibiarkannya aku bercerita apapun tanpa dia ingin menyelanya. Tiana pendengar yang setia atau memang aku yang tidak memberi kesempatan untuk berbicara? Tiana seorang pendongeng, seharusnya aku tahu dia juga bisa bercerita seperti Rani. Tapi selama ini aku yang menguasai panggung saat kita bertemu.
 
***
Nasi Boran di seberang kafe menggugah seleraku. Mas Arya sering mengajakku makan di sana. Makan nasi Boran khas kota Lamongan. Dia bercerita panjang lebar tentang nasi Boran. Disebut nasi Boran karena ditempatkan di wadah yang di sebut Boranan. Tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu dan digendong dengan selendang pada punggung. Mas Arya suka sekali dengan pletuk yang terbuat dari nasi yang dikeringkan atau kacang. Dengan ditambah ikan sili yang kadang tidak pasti ada di penjual karena termasuk ikan musiman. Sedangkan aku suka sekali dengan empuknya. Tepung terigu yang dibumbui itu rasanya pas sekali di lidahku.

Aku tiba-tiba merindukan Mas Arya. Aku mengira Revan adalah sosok laki-laki yang selama ini aku dambakan. Tapi kenyataannya ruang hatiku tetap dikuasai oleh Mas Arya. Mungkin benar kata orang, bahwa menjelang pernikahan banyak cobaannya. Dan seharusnya aku tidak boleh mudah tergoda dengan apapun yang membuatku ragu. Kuambil ponselku dan mulai membaca satu persatu pesan Mas Arya yang aku abaikan. Aku ingin mengirim pesan untuk minta maaf karena sifat kekanak-kanakanku selama ini. Tapi sebuah pesan dari Mas Arya muncul mendahului pesanku.

***

Aku biarkan Rani menyelesaikan ceritanya. Aku menanggapi sekadarnya. Pikiranku tertumpu pada Tiana. Sudah berhari-hari kami tidak saling menelepon. Beberapa kali pesanku tidak dibalasnya. Aku tahu Tiana marah karena akhir-akhir ini aku sering lembur kerja. Sering mengabaikan teleponnya. Dia pasti bingung dan repot bagaimana menyiapkan pernikahan kami nanti. Tapi aku malah sibuk dengan pekerjaanku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun