Di balik siluet gunung yang mempesona dan pantai-pantai yang memukau, Banyuwangi menyimpan kisah-kisah yang begitu kaya dan mempesona.
Banyuwangi merupakan salah satu destinasi wisata di Indonesia yang sangat saya ingin kunjungi.
Merasakan vibe eksotika tropikana ala Afrika di Taman Nasional Baluran dan menyaksikan fenomena alam nan unik blue fire di Kawah Ijen menjadi bucket list saat mengunjungi kota di mana matahari pertama kali terbit di bumi Jawa ini.
Namun, ternyata Banyuwangi tidak hanya tentang Baluran dan Kawah Ijen, akan tetapi ada banyak pesona lain yang sangat wajib untuk dijelajahi bagi siapa saja yang ingin merasakan pengalaman wisata di lokasi yang antimainstream.
Beruntung pada Sabtu, 24 Juni 2023 lalu saya berkesempatan menghadiri peluncuran buku Banyuwangi Sunrise of Java oleh Ibu Asita Djojo Koesoemo atau Asita DK.
Bertempat di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta Selatan, bersama teman-teman dari komunitas Koteka Kompasiana, dari acara tersebut saya jadi tahu bahwa Banyuwangi menyimpan banyak keunikan alam, tradisi, dan budaya yang mengagumkan.
Pada acara tersebut, Asita DK menjelaskan proses menulis buku selama 6 bulan yang berdasarkan riset yang memakan waktu hingga 6 tahun lamanya.
Waktu yang tidak sebentar tentunya untuk menghasilkan guidebook wisata Banyuwangi yang komprehensif, relevan, serta dengan konsep storytelling yang ciamik.
Bocoran ragam wisata dan kuliner Banyuwangi
Biasanya jika ingin berwisata ke suatu destinasi, kita harus melakukan riset jauh-jauh hari tentang daerah tersebut untuk mengetahui wisata apa saja yang bisa dikunjungi, pengalaman unik dan menarik apa yang wajib dicoba, dan lainnya. Termasuk kuliner setempat yang tidak boleh dilewatkan.
Nah, pada buku Banyuwangi Sunrise of Java ini, Bu Asita membocorkan semua informasi terkait ragam wisata yang ada di Banyuwangi.
Bukan wisata buatan yang instagrammable, yang sekedar untuk mempercantik feed Instagram, melainkan juga wisata alam yang dapat membuat wisatawan merasakan pengalaman bersinggungan langsung dengan lanskap indah ciptaan Yang Mahakuasa.
Sebut saja Savana Bekol, De Djawatan, Kawah Ijen, Taman Nasional Baluran yang sering disebut "Africa van Java", hingga wisata pantai di Pulau Merah, serta wisata underwater di Bangsring.
Bagi pecinta wisata budaya pun tidak perlu khawatir, sebab buku ini juga bisa mengunjungi Kampung Wisata Osing Desa Kemiren.
Tahukah kamu bahwa nasi tempong yang terkenal dari Bali sebenarnya berasal dari Banyuwangi?
Saya pun baru tahu saat Bu Asita menceritakan bahwa asal muasal nasi tempong memang dari Banyuwangi.
Namun, banyak pebisnis yang kemudian menjual nasi tersebut di Bali sehingga menjadi seolah nasi tempong berasal dari Bali.
Bagi kamu yang ingin mencicip nasi tempong dari asal daerahnya, Banyuwangi adalah lokasi yang tepat untuk dikunjungi.Â
Buku tentang perjalanan emosional yang menggugah
Buku panduan wisata sudah banyak jumlahnya di luar sana. Namun, akan jadi berbeda jika melibatkan pengalaman perjalanan yang bersifat emosional dan personal, sehingga terasa begitu menyentuh dan hangat bagi pembaca.
Seperti halnya Banyuwangi bagi Bu Asita yang telah memberikan banyak kenangan dan telah menjadi bagian dari masa kecilnya.
Pasalnya Ayah Bu Asita pernah bekerja selama bertahun-tahun di perkebunan di Banyuwangi dan menghabiskan masa kecil di sana.
Beliau pernah bersekolah di Banyuwangi dan berteman dengan teman-teman yang sebagiannya berbahasa Madura.
Ditambah orang tua dari sang suami juga berasal dari Banyuwangi, yang menambah sentuhan personal dalam tulisan perjalanannya selama di daerah yang terkenal dengan tarian Gandrung ini.
Visual foto yang membuat tulisan semakin hidup
Tak hanya lewat barisan kata-kata, buku Banyuwangi Sunrise of Java ini juga dilangkapi visualisasi melalui foto-foto yang menarik hasil karya handal fotografer Ibu Sri Asih yang juga hadir sebagai narasumber.
Contohnya foto penari tradisional pada cover buku tersebut, yang mana beliau membeberkan triknya mengambil fokus pada pada penari di tengah, sehingga tampak lebih hidup, menarik dan hasilnya high definition.
Melalui kesempatan tersebut, Bu Sri Asih juga membagikan tips dan trik fotografi saat melakukan traveling dan atau pada saat momen tertentu.
Ibu Sri Asih yang tergabung dalam komunitas fotografi Magnificent Indonesia memaparkan bahwa jika kita tahu teknik fotografi, tanpa kamera profesional yang mahal pun, tetap dapat menghasilkan hasil foto yang bagus. Bahkan dengan smartphone sekalipun.
Intinya adalah bagaimana kita memahami ilmu fotografi yang kemudian harus diiringi dengan ketekunan dalam berlatih, serta kesabaran saat memotret. Dengan begitu, niscaya hasil foto yang dihasilkan akan maksimal.
Legenda Banyuwangi yang tak boleh lupa
Saya ingat betul pernah membaca legenda asal mula Banyuwangi. Secara garis besar, Banyuwangi terdiri dari kosa kata "banyu" yang berarti air, dan "wangi" yang berarti wangi dan harum.
Jadi, Banyuwangi mengandung arti air yang harum semerbak. Bukan sekedar harum yang mahsyur, tapi juga ada kisah tragis di baliknya.
Kisah legenda Banyuwangi tersebut ternyata juga dibahas oleh Ibu Asita DK dalam buku Banyuwangi Sunrise of Java.
Terlepas dari benar tidaknya legenda tersebut, saya cukup salut karena beliau tidak lupa menyisipkan unsur cerita rakyat ke dalam buku bertema tourism Banyuwangi.
Kamu penasaran dengan kisah tragis yang ada di buku tersebut? Atau berencana melancong ke Banyuwangi?
Buku ini patut untuk dibaca untuk menambah wawasan dan referensi wisata yang bagus agar perjalanan wisata ke Banyuwangi bisa lebih berkesan, dan tidak ada yang terlewatkan.
Bahkan Bu Asita juga menyertakan kontak tour guide, alamat restoran dan penginapan yang recommended, supaya pembaca tidak perlu repot-repot mencari informasi sana-sini lagi.
Nah, bagi kamu yang berminat ingin memiliki buku ini, bisa langsung memesan melalui DM akun Instagram Bu Asita di @AsitaDK.
Selamat berwisata dan semoga bermanfaat! :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H