Ditambah orang tua dari sang suami juga berasal dari Banyuwangi, yang menambah sentuhan personal dalam tulisan perjalanannya selama di daerah yang terkenal dengan tarian Gandrung ini.
Visual foto yang membuat tulisan semakin hidup
Tak hanya lewat barisan kata-kata, buku Banyuwangi Sunrise of Java ini juga dilangkapi visualisasi melalui foto-foto yang menarik hasil karya handal fotografer Ibu Sri Asih yang juga hadir sebagai narasumber.
Contohnya foto penari tradisional pada cover buku tersebut, yang mana beliau membeberkan triknya mengambil fokus pada pada penari di tengah, sehingga tampak lebih hidup, menarik dan hasilnya high definition.
Melalui kesempatan tersebut, Bu Sri Asih juga membagikan tips dan trik fotografi saat melakukan traveling dan atau pada saat momen tertentu.
Ibu Sri Asih yang tergabung dalam komunitas fotografi Magnificent Indonesia memaparkan bahwa jika kita tahu teknik fotografi, tanpa kamera profesional yang mahal pun, tetap dapat menghasilkan hasil foto yang bagus. Bahkan dengan smartphone sekalipun.
Intinya adalah bagaimana kita memahami ilmu fotografi yang kemudian harus diiringi dengan ketekunan dalam berlatih, serta kesabaran saat memotret. Dengan begitu, niscaya hasil foto yang dihasilkan akan maksimal.
Legenda Banyuwangi yang tak boleh lupa
Saya ingat betul pernah membaca legenda asal mula Banyuwangi. Secara garis besar, Banyuwangi terdiri dari kosa kata "banyu" yang berarti air, dan "wangi" yang berarti wangi dan harum.
Jadi, Banyuwangi mengandung arti air yang harum semerbak. Bukan sekedar harum yang mahsyur, tapi juga ada kisah tragis di baliknya.
Kisah legenda Banyuwangi tersebut ternyata juga dibahas oleh Ibu Asita DK dalam buku Banyuwangi Sunrise of Java.
Terlepas dari benar tidaknya legenda tersebut, saya cukup salut karena beliau tidak lupa menyisipkan unsur cerita rakyat ke dalam buku bertema tourism Banyuwangi.