Mohon tunggu...
Fitri AngeliaH
Fitri AngeliaH Mohon Tunggu... Penulis - A human

Seorang penikmat kata, kalimat, dan paragraf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Representatif DPR sebagai Nomina Protektor dalam Menjamin Kebebasan Masyarakat

7 Oktober 2019   23:52 Diperbarui: 8 Oktober 2019   00:04 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ibu dari anak yang ditangkap karena membakar lahan untuk berladang sempat menggadaikan rumahnya karena tidak mempunyai uang untuk makan. Pembakar lahan di desa Muara Musu Timur kecamatan Rambah Hilir ini sudah diamankan polres Rohul lebih kurang satu bulan yang lalu. 

Adapun IW (21) seorang petani yang hendak membuka ladang di area tanah milik warga setempat. Menurut IK (48),  Ibu dari Iw mengaku tanah tersebut dipinjamnya dari SM yang hendak membuka kebun sawit. Sehingga SM meminjamkan tanah tersebut kepada IK sebagai tempat berladang terlebih dahulu.

"Iya, kita meminjam tanah itu untuk membuka ladang. dan karena kebiasaan orang kita memorun (membakar dengan sistem menumpuk-numpukkan kayu kesatu tempat dan membakarnya). 

IK mengaku lahan tersebut dibakar dalam 3 kali pembakaran dengan selisih waktu yang berbeda. Pembakaran pertama dibakar pada Juni 2019, dan kedua dibakar pada Juli 2019 serta pembakaran ketiga pada Agustus 2019. Naas cerita, pembakaran ketiga IW ditangkap pihak Polsek Rambah Hilir. " 

Kami kira dengan membakar sedikit nggak akan dipenjara. Karena orang kitapun kalau berladangkan biasanya dibakar," ungkap IK. IK juga memaparkan bahwa hutan yang dibakar tidak sampai dua hektar dan pembakaran tidak dibakar sekaligus melainkan tiga kali pembakaran.IK mengaku sedih dan sering menangis bila mengingat anaknya masuk penjara. Mengingat IW adalah tulang punggung keluarga tersebut setelah ia berpisah dengan suaminya.

"Itu anak saya sekaligus tulang punggung saya, kalau tidak ada dia. Darimana saya dapat makan. Sedangkan saya tinggal sendiri dirumah" jelas IK sambil meneteskan air mata. 

Untuk saat ini IK  juga telah menggadaikan rumahnya sebesar dua juta rupiah untuk kebutuhan rumah tangganya. "Saya butuh makan, dan setiap hari selasa saya mengantarkan makanan ke penjara untuk anak saya.

Kasus diatas menunjukkan supremasi hukum ternyata belum sampai menyentuh lapisan masyarakat secara keseluruhan. Hukum yang dianggap sebagai penegak keadilan yang diakui dan dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Penulis mengamini bahwa perlu adanya analisa terhadap kasus diatas, yang kiranya dapat dijadikan pembelajaran bagi para pembaca. Penulis akan membahas beberapa point pembahasan yang mencoba menjelaskan kepada khalayak ramai bagaimana sebenarnya penyelesaian ataupun tindakan hukum yang layak diterapkan pada kasus tersebut.

Pertama, dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) sangat jelas menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Diikuti oleh pasal 1 KUHP yang dengan tegas menyatakan adanya asas legalitas sebagai dasar seseorang dikenkaan sanksi hukum ataupun pidana. 

Penulis menyajikan beberapa pandangan regulasi hukum terkhususnya dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan ("Permen LH 10/2010" Pasal 4 ayat (1) Permen LH 10/2010: Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa. 

Berdasarkan kasus diatas, anak tersebut tidak sampai membakar melebihi dari batas maksimum yang diamanatkan oleh undang-undang. Sehingga secara barang bukti, sebenarnya si anak dapat dikategorikan bebas dari tuntutan hukum.

Kedua, penulis mencoba menyampaikan kembali filosofi pemberian hukum dalam penyelesaian perkara, yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Dari segi keadilan, apakah pemerintah melalui penangkapan pemuda tersebut sudah memberikan rasa adil bagi keluarga tersangka dan korban ?. Lalu bagaimana jika dikaitkan dengan koorporasi yang dengan kekuatan ekonomi mampu bebas dari tuntutan hukum. Hal ini semakin mengerucutkan bahwa keadilan seolah-olah hanya milik penguasa dan pemilik kekayaan. Kemudian dari segi kemanfaatan, apakah dengan menjadikan sang anak sebagai tersangka memberikan manfaat bagi keluarganya. Nyatanya sang ibu harus menjual rumah yang menjadi kebutuhan papan dalam keluarga demi mencukupi biaya sehari-hari. Dan dari aspek kepastian hukum, pemerintah hanya seolah menjadikan objek hukum yang mengancam kesejahteraan masyarakat. Karena indikator pemenuhan unsur-unsur tindak pidana belum terpenuhi, namun sudah mendapatkan perlakuan hukum yang sejatinya merugikan diri sendiri dan keluarga.

.Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kita mengenal yang namanya Bicameral System yaitu adanya dua kamar pelaksanaan pemerintahan. Salah satunya yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang menjadi dewan penyampai dan pengayom masyarakat dalam mengeluarkan peraturan dan perundang-undangan. Harapan publik yang begitu besar tersebut harus menjadi perhatian serius bagi DPR sekaligus pemicu bagi revitalisasi kelembagaan DPR. Namun kenyataannya, hingga kini kinerja DPR oleh sebagian kalangan dinilai belum optimal. Sehingga menurut penulis berdasarkan peran DPR yang diharapkan perlu meningkatan peran anggota DPR dalam membuka ruang-ruang publik bagi warga masyarakat agar mereka pro aktif dan terlibat dalam proses pembahasan Rancangan Undang-undang dianggap sangat penting.

Kasus diatas merupakan satu dari sekian perkara yang terjadi akibat kurang tersampaikannya makna dan tujuan dari sebuah regulasi hukum. Padahal dalam proses pelaksanaan nya hal inilah yang kerap menjadi batu ancaman bagi masyarakat yang tidak melek hukum. Sehingga penulis berharap adanya peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pengesahan suatu produk undang-undang. KesempatanKesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan telah terakomodasi dalam ketentuan hukum positif Pasal 96 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan dianutnya asas keterbukaan dalam undang-undang tersebut, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.Sementara itu, yang dimaksud masyarakat adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan undang-undang. Untuk memudahkan Dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terkait Asas Keterbukaan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun