Namun, sebelum dia selesai mengucapkan azan, dia merasakan sesuatu yang menusuk punggungnya. Dia menoleh dan melihat seorang serdadu Belanda yang bersembunyi di balik meja. Serdadu itu menembaknya dengan senapan. Peluru itu mengenai jantungnya.
Teuku Peukan terkejut dan kesakitan. Dia merasakan darahnya mengalir dari lukanya. Dia merasakan nyawanya pergi dari tubuhnya. Dia merasakan matinya.
Dia tersenyum dan mengucapkan, "Laa ilaaha illallah." Dia jatuh ke lantai dengan pedangnya masih di tangannya. Dia syahid di jalan Allah.
Teuku Tahala, yang melihat kejadian itu, menjadi marah dan sedih. Dia menangis dan berteriak, "Ayah!" Dia menyerang serdadu Belanda yang menembak ayahnya. Dia tidak peduli dengan nyawanya. Dia hanya ingin membalas dendam.
Dia berhasil membunuh serdadu itu. Namun, dia juga terkena tembakan dari serdadu lain. Dia terluka parah dan tidak bisa bergerak. Dia merangkak menuju ayahnya. Dia memeluk jenazah ayahnya. Dia mengucapkan, "Ayah, aku ikut mu." Dia menghembuskan nafas terakhirnya. Dia syahid bersama ayahnya.
Serdadu Belanda yang masih hidup merasa lega. Mereka berhasil mengalahkan pejuang Aceh yang menyerang tangsi mereka. Mereka merasa bangga dan senang. Mereka mengira bahwa mereka sudah menang.
Namun, mereka salah. Mereka tidak menang. Mereka kalah. Mereka kalah dari pejuang Aceh yang beriman dan berjihad. Mereka kalah dari Teuku Peukan dan Teuku Tahala yang syahid. Mereka kalah dari Allah yang maha kuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H