Krisis pangan dunia semakin diambang mata. Beberapa negara tampak panik, termasuk Indonesia, mencari pasokan pangan untuk rakyatnya. Jika sebelumnya impor beras sangat mudah dilakukan, kini semua negara bersiap menutup pintu ekspornya.
Sejak Juli 2023, India sudah menutup pintu ekspor demi menyelamatkan diri, terutama untuk beras non-basmati yang dikenal murah. Keputusan India ini ditengarai akan berdampak pada hilangnya seperlima atau sekitar 9,2 juta metrik ton pasokan beras dunia. Adapun 19 negara eskportir beras lainnya, diketahui sudah bersiap membatasi diri untuk menghadapi ancaman krisis pangan global ini. Diantaranya Thailand yang sedang cermat berhitung, apakah akan melepas produk berasnya ke pasar global ataukah tidak.
Faktor Krisis
Di luar isu krisis energi dan keuangan global, isu krisis pangan sebetulnya sudah lama mencuat ke permukaan. Selain peningkatan jumlah penduduk, perubahan iklim dan situasi politik global juga disebut-sebut sebagai penyebab ancaman krisis pangan.
Diketahui, setiap tahun jumlah penduduk dunia meningkat 1,25%. Artinya kebutuhan pangan akan terus meningkat. Di pihak lain, perubahan iklim yang semakin ekstrem akan menganggu produksi pangan sehingga ketersediaan bahan pangan pun benar-benar terancam.
Kondisi ini diperparah dengan situasi geopolitik global yang makin tidak menentu. Ketegangan yang berkelanjutan antara Rusia dan Ukraina menyebabkan rantai pasok pangan antarnegara di dunia benar-benar terganggu. Saat Pelabuhan Odessa diblok oleh Rusia misalnya, 77 juta ton gandum tidak bisa diekspor oleh Ukraina. Sementara itu, pada saat yang sama, Rusia pun mengeklaim tidak bisa mengekspor 130 juta ton produksi gandumnya. Wajar jika harga gandum dan semua produk turunannya melonjak naik di mana-mana, mulai di Eropa, Asia hingga Afrika. Ini karena ketergantungan masyarakat dunia atas komoditas gandum terbilang sangat tinggi.
Respon Indonesia
Pada kesempatan Dies Natalis ke-60 Institut Pertanian Bogor (16/9/2023), Presiden Jokowi mengatakan ulasannya soal krisis pangan bukan untuk menakut-nakuti tetapi untuk mencari antisipasi dan solusi. Beliau memberi pesan agar Indonesia bisa menjadikan permasalahan pangan dunia ini sebagai peluang. Caranya dengan membuat berbagai terobosan “gila” sehingga Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia. Dengan begitu, katanya, petani dan nelayan kita akan sejahtera dan krisis pangan dunia pun akan terselesaikan dengan sendirinya.
Pernyataan Presiden tersebut tampak jauh panggang dari api. Alih-alih menjadi lumbung pangan dunia, mencapai target swasembada pangan saja masih dalam tataran wacana. Padahal situs resmi Setgab masih memuat potongan pidato Presiden Jokowi di hadapan civitas academica UGM Yogyakarta pada 9 Desember 2014 silam. Saat itu dengan tegas ia berkata, “Saya sudah beri target Menteri Pertanian tiga tahun, tidak boleh lebih. Hati-hati, tiga tahun belum swasembada, saya ganti menterinya.”
Faktanya, selama dua periode pemerintahan, keran impor dibuka sederas-derasnya. Alih-alih berinovasi, pilihan impor masih jadi solusi bagi defisitnya stok pangan nasional. Untuk 2023 ini, pemerintah menugaskan Bulog untuk mengimpor 2,3 juta ton beras dengan dalih mengurangi dampak El Nino yang menyebabkan kekeringan di Asia Tenggara. Adapun realisasinya, data BPS menyebut, pada periode Januari—Agustus ini, beras yang diimpor sudah mencapai 1,59 juta ton. Sementara itu, pada saat yang sama BPS mengingatkan adanya ancaman defisit beras yang akan berlangsung hingga Januari 2024 yang akan datang.
Sementara itu, mega proyek Food Estate yang bernilai ratusan triliun dan digadang-gadang mampu menjawab tantangan krisis pangan, mangkrak. Bukan hanya tidak berkorelasi dengan ketahanan pangan nasional, program ini meninggalkan kerusakan lingkungan yang parah akibat deforestasi.
Ini karena, proyek food estate diarahkan pada pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pangan yang dijalankan korporasi, bukan untuk ketahanan pangan nasional. Hasil pertanian lumbung pangan bukan mengalir ke pasar untuk kecukupan ketersediaan pangan, melainkan mengalir ke segelintir korporasi yang bermain di industri pangan. Lumbung pangan di Sumut, misalnya. Komoditas pertanian yang dikembangkan di sana di antaranya kentang, bawang merah, dan bawang putih. Hasil panen di sana justru dimonopoli sejumlah perusahaan besar yang menanamkan modalnya, khususnya di lokasi lumbung pangan Kabupaten Humbang Hasundutan. Terdapat tujuh perusahaan yang berinvestasi, yakni PT Indofood, PT Calbee Wings, PT Champ, PT Semangat Tani Maju Bersama, PT Agra Garlica, PT Agri Indo Sejahtera, dan PT Karya Tani Semesta.
Berdasarkan penelitian oleh sejumlah lembaga masyarakat sipil (FIAN Indonesia, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Bitra, Yayasan Petrasa dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sumut), lumbung pangan Desa Ria-Ria di kabupaten Humbahas tersebut merupakan kebijakan pembangunan pertanian yang pro pasar serta berorientasi mengindustrialisasi pertanian pangan yang sebelumnya didominasi para petani kecil. Terjadi perampasan kontrol atas tanah dan terlucutinya otonomi petani terhadap pertaniannya. Petani kecil cenderung menjadi pemasok bahan baku bagi korporasi agribisnis, sekaligus pasar dan turut menjadi tenaga kerja bagi industri pangan.
Bukan Sekedar Teknis
Indonesia sejatinya sudah punya pengalaman untuk bisa mewujudkan swasembada pangan. Pada awal era kepemimpinan Soeharto (1969) misalnya, Indonesia termasuk pengimpor beras terbesar dengan produksi beras nasionalnya yang hanya 12 juta ton.
Pemerintah melakukan kebijakan serius di sektor pertanian. Proyek-proyek intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi dilakukan dengan program yang disebut Bimbingan Massal (Bimas). Potensi Indonesia sebagai negara agraris dan maritim benar-benar dioptimalkan dengan mengarahkan pembangunan pada sektor-sektor yang mendukung target mewujudkan ketahanan bahkan kedaulatan pangan. Misalnya, pembangunan infrastruktur (irigasi, jalan, dsb.), pengembangan riset dan teknologi pertanian, dukungan kebijakan pendidikan tinggi dan menengah terkait sektor pertanian, perbaikan sistem tata niaga dan informasi pasar, kebijakan terkait pengadaan saprotan, subsidi dan bantuan permodalan, dan sebagainya.
Semua upaya tersebut akhirnya membawa Indonesia bisa swasembada pangan pada 1984. Bahkan selanjutnya, Indonesia berhasil menjadi salah satu negara pengekspor pangan. Bahkan Indonesia mampu membantu negara-negara di Afrika yang mengalami bencana kelaparan dengan mengirim ratusan ribu ton beras.
Sayangnya, pemerintahan Soeharto tidak bisa mengelak dari arus kebijakan global yang makin liberal. Pengarusan proyek liberalisasi pasar, termasuk di sektor pertanian, melalui keanggotaan di WTO dan ratifikasi The Agreement of Agriculture (AoA) pada 1994, membuat pemerintah Indonesia kehilangan kedaulatan pangan dan sulit membalik keadaan. Negara-negara besar yang ada di balik skenario ini tampak menginginkan negara semacam Indonesia cukup menjadi end user, bukan produsen produk pangan. Mereka berhasil melemahkan sasarannya dengan tekanan politik dan jebakan utang.
Semua ini diperparah oleh keberadaan mafia Berkeley yang berkelindan dengan merajalelanya kerakusan akan harta di lingkaran kekuasaan hingga banyak kebijakan penguasa yang dirasa kian memihak para pemilik modal. Bahkan, pola hubungan penguasa dan rakyat makin terasa seperti hitung dagang. Salah satu contohnya, peran Bulog yang sebelumnya menjadi representasi negara, berubah menjadi representasi pelaku pasar yang turut berdagang dengan rakyatnya.
Kondisi ini berlangsung hingga sekarang, bahkan liberalisasi dan kapitalisasi di sektor strategis seperti pangan dan energi benar-benar kian parah. Negara antara ada dan tiada. Para penguasa asyik melayani kepentingan para korporat, termasuk dalam proyek food estate yang dibangga-banggakan. Mereka seakan mati rasa melihat rakyat harus berjibaku dengan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup minimal di tengah daya beli yang kian rendah dan harga pangan yang kian tidak terjangkau.
Islam Menjawab Tantangan
Dalam kerangka berpikir Islam, problem ekonomi, termasuk krisis pangan, tidak melulu soal defisitnya produksi, tetapi soal distribusi hasil produksi. Bukankah pada saat ada ancaman krisis pangan, ada fakta soal food loss dan food waste yang datanya mencengangkan?
Badan Pangan Dunia pernah menyebut, ada sepertiga bahan pangan yang diproduksi dunia, ternyata terbuang dan menjadi sampah. Bahkan di Indonesia, di tengah kemiskinan dan kelaparan yang mendera puluhan juta warga, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional menemukan data, pada tahun 2021 saja, ada 46,35 juta ton sisa makanan yang terbuang, dan itu bernilai lebih dari Rp 300 triliun!
Selain itu, problem terkait kusutnya rantai pasok pangan, monopoli dan oligopoli, kepemilikan lahan, penataan ruang dan infrastruktur menjadi benang kusut atas distribusi bahan-bahan pangan.
Sehingga, Islam akan mulai mensolusi ancaman krisis pangan ini dari hal paling mendasar yakni tentang perubahan paradigma kepemimpinan, penerapan politik ekonomi dan pertanian versi Islam yang menjamin pemenuhan kebutuhan dasar secara individual. Aspek produksi, distribusi dan konsumsi akan menjadi perhatian penguasa sehingga kedaulatan pangan itu bisa tercapai.
Di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab ra, pernah terjadi bencana kelaparan. Khalifah menulis surat ke Gubernur Mesir Amru bin Ash yang berisi permintaan bantuan pangan karena Hijaz saat itu mengalami paceklik. Amr bin Ash pun langsung mengirimkan bantuan.
Sejarawan Mesir abad ke-9 Ibnu Abdul Hakam menceritakan, ada kumpulan hewan yang tidak terputus membawa hadiah dari Sungai Nil ke Hijaz. Setelah menerima kiriman itu, Khalifah Umar mengirim setiap unta dan isi tunggangannya ke rumah-rumah warga. Hal itu terus dilakukan hingga bencana kelaparan dan krisis pangan teratasi. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H