Dalam kerangka berpikir Islam, problem ekonomi, termasuk krisis pangan, tidak melulu soal defisitnya produksi, tetapi soal distribusi hasil produksi. Bukankah pada saat ada ancaman krisis pangan, ada fakta soal food loss dan food waste yang datanya mencengangkan?
Badan Pangan Dunia pernah menyebut, ada sepertiga bahan pangan yang diproduksi dunia, ternyata terbuang dan menjadi sampah. Bahkan di Indonesia, di tengah kemiskinan dan kelaparan yang mendera puluhan juta warga, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional menemukan data, pada tahun 2021 saja, ada 46,35 juta ton sisa makanan yang terbuang, dan itu bernilai lebih dari Rp 300 triliun!
Selain itu, problem terkait kusutnya rantai pasok pangan, monopoli dan oligopoli, kepemilikan lahan, penataan ruang dan infrastruktur menjadi benang kusut atas distribusi bahan-bahan pangan.
Sehingga, Islam akan mulai mensolusi ancaman krisis pangan ini dari hal paling mendasar yakni tentang perubahan paradigma kepemimpinan, penerapan politik ekonomi dan pertanian versi Islam yang menjamin pemenuhan kebutuhan dasar secara individual. Aspek produksi, distribusi dan konsumsi akan menjadi perhatian penguasa sehingga kedaulatan pangan itu bisa tercapai.
Di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab ra, pernah terjadi bencana kelaparan. Khalifah menulis surat ke Gubernur Mesir Amru bin Ash yang berisi permintaan bantuan pangan karena Hijaz saat itu mengalami paceklik. Amr bin Ash pun langsung mengirimkan bantuan.
Sejarawan Mesir abad ke-9 Ibnu Abdul Hakam menceritakan, ada kumpulan hewan yang tidak terputus membawa hadiah dari Sungai Nil ke Hijaz. Setelah menerima kiriman itu, Khalifah Umar mengirim setiap unta dan isi tunggangannya ke rumah-rumah warga. Hal itu terus dilakukan hingga bencana kelaparan dan krisis pangan teratasi. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H