Tinggal di Kota Bogor yang notabene sebagai Kota Hujan membuat saya harus terbiasa dengan hujan yang senantiasa datang tiba-tiba tanpa mengenal waktu. Hujan di Kota Hujan ini terbilang ganas karena setiap kali hujan, rintiknya datang keroyokan tanpa permisi dan dibarengi dengan petir yang saling bersahutan.Â
Cuaca dingin dan hujan lebat yang tak bisa ditebak waktu kedatangannya membuat saya sering terjebak hujan dan terpaksa menyerahkan tubuh saya diguyur hujan hingga basah kuyup sampai indekos. Selain dinginnya Kota Bogor akibat hujan, aktivitas di dalam ruangan ber-AC selama seharian penuh tak jarang membuat tubuh saya menggigil kedinginan.Â
Akibat sering membiarkan tubuh kedinginan ditambah dengan aktivitas yang cukup padat dan sering begadang karena harus menyelesaikan tugas-tugas kuliah, kerap kali menjadi penyebab tubuh saya drop karena masuk angin, pegal-pegal dan sakit kepala.
Menurut ilmu biologi yang pernah saya dapat ketika SMA, masuk angin bisa disebabkan oleh mekanisme tubuh yang mengalami penyempitan pembuluh darah akibat cuaca dingin.Â
Di saat cuaca dingin, pembuluh darah akan menyempit untuk menjaga agar tidak terjadi pengeluaran kalori yang berlebih dari tubuh, sehingga tubuh tidak mengalami penurunan suhu.Â
Namun, dampak dari penyempitan pembuluh darah ini menyebabkan peredaran darah jadi tidak lancar sehingga asam laktat terakumulasi pada otot yang membuat badan terasa pegal. Pada kondisi inilah, gejala-gejala masuk angin seperti meriang, perut kembung, sering sendawa, kedinginan di bagian ujung jari tangan dan ujung kaki, otot pegal, serta sakit kepala mulai menyerang tubuh kita.
Setelah menemukan balsem lang, saya mulai mengoleskannya kebagian-bagian tubuh tertentu yang dirasa pegal dan dingin untuk menghangatkan tubuh dari kedinginan. Jika dirasa masih meriang kedinginan karena masuk angin, metode paling ampuh yang dilakukan adalah dengan tradisi kerokan.
 Saat  masih tinggal di rumah bersama orang tua, setiap kali saya masuk angin, mamah pasti selalu siap sedia untuk melakukan kerokan di punggung saya. Bahkan untuk kerokannya pun sudah tersedia koin khusus seribu rupiah zaman dulu yang bergambar kelapa sawit dan pastinya selalu sedia balsem lang di kotak obat.Â
Beda halnya ketika saya ada di tanah rantau, seperti saat ini. Ketika masuk angin menyerang tubuh saya, yang dapat dilakukan hanya melakukan kerokan di bagian-bagian yang terjangkau oleh tangan saya. Selebihnya hanya dioles balsem lang di bagian kaki, dahi, perut dan titik-titik yang dirasa pegal. Setelah kerokan dengan balsem lang, semakin nikmat jika ditemani secangkir susu jahe merah yang menghangatkan.
Sejujurnya saya tidak setuju dengan ungkapan-ungkapan bahwa kerokan itu tidak baik untuk tubuh dan menyebabkan kulit rusak, sebab yang saya rasakan justru sebaliknya. Dengan kerokan, tubuh saya dirasa kembali bugar dan enak seperti sedia kala sehingga rutinitas dan aktivitas sehari-hari pun dapat dijalankan kembali.Â
Menurut saya, kerokan merupakan tradisi yang sudah sepatutnya kita lestarikan sebagai generasi zaman now yang menghormati budaya dan warisan nenek moyang. Kerokan merupakan tradisi masyarakat jawa yang sudah terbukti ampuh mengobati masuk angin, terlebih lagi kerokanisme zaman now semakin mudah dengan balsem lang yang pastinya cocok dengan karakter generasi zaman now yang maunya praktis, wangi, tidak ribet, dan tidak lengket di kulit. Sebagai generasi zaman now, dengan bangga saya menyatakan bahwa kerokanisme adalah sebuah kata tersirat dari kerokan is me. Kompasianer, yuk lestarikan tradisi keroKan is me!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H