Dalam islam, pada hakikatnya konsumsi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik fisik maupun batin. Kebutuhan ini terkait dengan segala sesuatu yang harus dipenuhi agar dapat berfungsi dengan sempurna. Di sisi lain, ada keinginan yang terkait dengan hasrat atau harapan untuk menjadikan sesuatu itu menjadi lebih sempurna. Hal inilah yang memicu kehendak seseorang untuk membeli atau memiliki barang / jasa tersebut.
Ajaran Islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya karena semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk kepentingan manusia. Namun, manusia diperintahkan untuk mengonsumsi barang/jasa yang halal dan baik saja secara wajar dan tidak berlebihan. Begitu juga dengan kesenangan dan kemewahan. Kesenangan atau kemewahan diperbolehkan asalkan tidak berlebihan, yaitu tidak melampaui batas yang sudah ditentukan.
Seperti yang dijelaskan dalam Hadis berikut ini.
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِى غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيْلَة (رواه النَّسَائُى
Artinya : dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata, Rasulullah SAW bersabda: "makan dan minumlah, bersedekahlah serta berpakaianlah dengan tidak berlebihan dan tidak sombong." (HR. Nasa'i)
Setiap orang mukmin berusaha mencari kenikmatan dengan cara mematuhi perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah yang diciptakan Allah untuk umat manusia demi kemaslahatan umat. Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui batas, termasuk pemborosan dan berlebih-lebihan (bermewah-mewahan), yaitu membuang-buang harta dan menghambur-hamburkannya tanpa faedah serta manfaat dan hanya memperturutkan hawa nafsu.
Konsumsi berlebih-lebihan dalam Islam disebut dengan israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti menggunakan harta dengan cara yang salah, yakni menuju tujuan terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan. Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dan hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal atau bahkan sedekah. Ajaran islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak di antara kekikiran dan pemborosan (Arif, 2010:87).
Kaum muslim dianjurkan untuk menggunakan kekayaan mereka (langsung atau tidak langsung) pada hal-hal yang mereka anggap baik dan menyenangkan bagi mereka (Rahman, 2002:19). Sebenarnya, Islam banyak memberikan kebebasan individual kepada manusia dalam masalah konsumsi. Mereka bebas membelanjakan harta untuk membeli barang-barang yang baik dan halal demi memenuhi keinginan mereka dengan ketentuan tidak melanggar batas-batas kesucian. Walaupun begitu kebebasan yang dimaksud di sini terbatas pada barang-barang yang baik dan suci saja. Batasan tersebut tidak memberi kebebasan kepada kaum muslimin membelanjakan harta mereka atas barang-barang yang tidak bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
Disatu sisi melarang membelanjakan harta secara berlebih-lebihan semata-mata menuruti hawa nafsu, sementara di sisi lain juga mengutuk perbuatan perbuatan menjauhkan diri dari kesenangan menikmati benda-benda yang baik dan halal dalam kehidupan. Mengenai pandangan tentang pentingnya kekayaan, Islam memberi banyak penekanan pada pengaturan dan penggunaan kekayaan tersebut. Manusia dianjurkan untuk menjaga harta benda mereka dengan hati-hati dan membelanjakannya secara adil dan bijaksana agar keinginan-keinginan yang dihalalkan itu terpenuhi (terpuaskan) (Rahman, 2002:22).
Keinginan manusia itu tidak terbatas. Hamper-hampir tidak pernah berhenti berkeinginan. Jika satu keinginan sudah terpenuhi, maka akan muncul keinginan lain yang timbul, maka dengan demikian manusia memperjuangkan seluruh hidupnya untuk memuaskan rentetan keinginan yang tiada hentinya, tapi semuanya tidak dapat memberi kepuasan kepada mereka. Sebenarnya itulah sifat dari keinginan yang memerlukan dan mengarah pada usaha-usaha yang tetap dari sisi kehidupan manusia untuk memenuhi keinginan yang senantiasa bertambah.
Manusia membelanjakan semua hartanya dalam rangka memuaskan keinginannya. Sebagian dari keinginannya sangat penting bagi kehidupannya, sementara sebagian lainnya perlu untuk mempertahankan atau meningkatkan efisiensi kerjanya. Adapun keinginan sangat penting bagi kehidupan manusia antara lain :
1. Makan dan Minum
Makan dan minum dipandang sebagai kebutuhan pokok manusia yang paling penting. Manusia dapat hidup tanpa pakaian dan tempat tinggal dalam kondisi-kondisi tertentu, tapi tidak dapat hidup tanpa makan dan minum. Kaum muslimin diberi kebebasan sepenuhnya dalam mengkonsumsi apapun yang suci / asli dan halal bagi mereka dengan suatu pengecualian terhadap hal-hal yang merusak masyarakat maupun kesejahteraan secara individual. Islam juga mengatur perilaku manusia mengenai makanan dan minuman, yaitu sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara berlebih. Kenyataan bahwa kurang makan dapat memengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi secara berlebih-lebih tentu aka nada pengaruhnya pada perut. Praktik memantangkan jenis makanan tertentu dengan tegas tidak dibolehkan dalam Islam.
2. Pakaian
Setelah makanan dan minuman, kebutuhan lain yang penting bagi manusia adalah pakaian yang berfungsi melindungi manusia dari panas dan dingin dan agar nampak lebih indah dan bagus kepribadian manusia tersebut. Awalnya, fungsi pakaian itu sangat sederhana yaitu hanya sebagai penutup aurat dan penutup rasa malu dan melindungi manusia dari panas dan dingin; tapi dengan kemajuan manusia mencoba menghiasi diri dengan pakaian. Namun, Islam juga mengatur tata cara berpakaian yang baik, yaitu tidak berlebih-lebih. Memakai pakaian yang tidak berlebih-lebihan disini maksudnya adalah menggunakan pakaian tanpa atau dengan sedikit aksesoris (hiasan), tidak menggunakan warna yang terlalu mencolok.
3. Sedekah
Sedekah merupakan kegiatan memberi kepada orang lain secara sukarela dan ikhlas. Namun, sama dengan makan, minum, dan berpakain; bahwa Islam melarang segala sesuatu secara berlebihan. Agara pemborosan kekayaan terkontrol, islam melarang umat untuk mensedekahkan harta benda mereka kepada orang-orang yang belum sempurna berakal dan belum dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa semua harta enda hendaknya dipergunakan bagi kepentingan masyarakat dan sebaiknya tidak diserahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, yaitu anak yang belum dewasa atau masih dalam proses pertumbuhan dan orang-orang yang mungkin menyalahgunakannya.
Menikmati kesenangan dibolehkan dalam Islam. Islam sangat memahami naluri alamiah manusia dalam mengagumi dan menikmati keindahan dalam hidup ini. Tapi diingatkan untuk tidak berlebih-lebihan. Demikian pula halnya kesederhanaan dalam makanan, kesenangan dan segalanya, tidak boleh terpisah dari nilai-nilai keagamaan : asal jangan berlebih-lebihan.
Perilaku konsumsi islami dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1. Paradoks Halal-Haram
Dalam kerangka acuan Islam, barang-barang yang dapar dikonsumsi hanyalah barang-barang yang menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian, keindahan, serta akan menimbulkan kemashlahatan untuk umat baik secara materiil maupun spiritual. Sebaliknya, benda-benda yang buruk, tidak suci (najis), tidak berniali, tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat dianggap sebagai barang-barang konsumsi dalam Islam serta dapat menimbulkan kemudaratan apabila dikonsumsi akan dilarang. Hal ini selain bersifat transdental juga keduniawian karena Islam sangat memerhatikan kesucian dan kebersihan dari barang konsumsi. Paradoks ini mendorong pada pemahaman bahwa kepuasan seorang muslim sangat ditentukan oleh kadar kehalalan dan keharaman barang konsumsi.
2. Prinsip Kemurahan Hati / Pengeluaran di Jalan Allah
Prinsip konsumsi seorang muslim adalah kemurahan hati dan mementingkan kepentingan social secara luas, berbeda dengan konvensional yang berprinsip pada memaksimalkan kepuasan individu dengan tidak memedulikan orang lain selama individu tidak mengganggu kepentingan orang lain. Oleh karena itu, konsumen muslim tetap mendapat tingkap kepuasan maksimal walaupun pendapatannya terbagi untuk konsumsi dan pengeluaran di jalan Allah (zakat, infak, dan sedekah) (Wibowo, 2013:244-245).
Referensi :
Wibowo, Sukarno., Dedi Suoriadi. 2013. Ekonomi Mikro Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Al Arif, M.Nur Rianto., Euis Amalia. 2010. Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional. Jakarta: Kencana.
Rahman, Afzalur. 2002. Doktrin Ekonomi Islam Jilid II. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H