Dunia perpolitikan Timur Tengah sepertinya mulai memasuki fase baru. Negara-negara Arab yang selama ini dapat dikatakan "anti Israel" mulai membuka diri dan bahkan membuka hubungan diplomatik dengan Israel, seperti yang dilakukan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain baru-baru ini. UEA membuat kesepakatan damai dan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel pada tanggal 13 Agustus 2020, disusul oleh Bahrain pada tanggal 11 September 2020. Kedua hal ini tentu tidak lepas dari prakarsa Amerika Serikat.
Selanjutnya, selain menandatangani perjanjian normalisasi bilateral terpisah antara UEA-Israel  dan Bahrain-Israel, ketiga negara juga menandatangani perjanjian trilateral di Gedung Putih, Amerika Serikat pada tanggal 15 September 2020, yang diwakili oleh PM Israel Benjamin Netanyahu, Menlu UEA Abdullah bin Zayed, dan Menlu Bahrain Abdullatif bin Rashid al Zayani.
Perjanjian trilateral tersebut kemudian dinamakan sebagai "Abraham Accord (Kesepakatan Ibrahim)", diambil dari nama Nabi Ibrahim, yang merupakan nenek moyang agama samawi dan disebut sebagai "Bapak dari seluruh Nabi", yang dihormati oleh tiga agama monoteistik utama dunia yaitu Islam, Yahudi dan Nasrani.Â
Kesepakatan dalam "The Abraham Accord" antara lain membahas mengenai kesadaran akan pentingnya menjaga dan memperkuat perdamaian di Timur Tengah dan seluruh dunia; mendorong upaya untuk mempromosikan dialog antaragama dan antarbudaya untuk memajukan budaya perdamaian di antara tiga agama Ibrahim dan seluruh umat manusia; mengatasi tantangan melalui kerjasama dan dialog dan bahwa mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara memajukan kepentingan perdamaian abadi di Timur Tengah dan seluruh dunia; mencari toleransi dan rasa hormat kepada setiap orang untuk menjadikan dunia sebagai tempat dimana semua orang dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan harapan tanpa memandang ras, kepercayaan dan etnis mereka; mendukung sains, seni, kedokteran, dan perdagangan untuk menginspirasi umat manusia, memaksimalkan potensi manusia, dan mendekatkan bangsa; berusaha untuk mengakhiri radikalisasi dan konflik untuk memberikan masa depan yang lebih baik kepada semua anak; dan mengejar visi perdamaian, keamanan, dan kemakmuran di Timur Tengah dan di seluruh dunia. Disamping itu, dari kesepakatan tersebut Israel dilaporkan setuju untuk menghentikan upaya aneksasi wilayah Palestina, namun tak lama kemudian Netanyahu mengatakan bahwa dia hanya menunda aneksasi Tepi Barat Palestina, bukan membatalkannya.
UEA dan Bahrain merupakan negara pertama dan kedua yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel pasca perjanjian Arab-Israel tahun 2002 terkait dengan konflik Israel-Palestina. Namun apabila dilihat dari sejarah, UEA dan Bahrain merupakan negara Arab ketiga dan keempat yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.Â
Jauh sebelumnya, Mesir telah melakukan perjanjian damai dengan Israel di Camp David, Amerika Serikat pada tanggal 17 September 1978, yang dilanjutkan dengan deklarasi di Gedung Putih pada tanggal 26 Maret 1979, ditandatangani oleh Presiden Mesir Anwar Sadat, PM Israel Menachem Begin, dan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter. Dengan demikian, Mesir merupakan negara Timur Tengah pertama yang berdamai dengan Israel.Â
Negara kedua adalah Yordania yang melakukan perjanjian damai dengan Israel pada 26 Oktober 1994, yang ditandatangani di Arabah, Israel, oleh PM Israel Yitzhak Rabin dan PM Yordania, Abdelsalam Majali. Dilanjutkan dengan Deklarasi Washington yang ditandatangani oleh PM Israel Yitzhak Rabin, Raja Hussein dari Yordania, dan Presiden AS Bill Clinton di Gedung Putih. Namun berbeda dengan dua negara pendahulunya, perjanjian damai antara UEA, Bahrain dan Israel tidak didahului oleh peperangan.
Secara historis, hubungan negara-negara Arab dan Israel diwarnai oleh sejarah peperangan. Konflik panjang tersebut tak terlepas dari ketegangan politik, konflik militer dan perselisihan sejak abad ke-19. Konflik bermula dari klaim yang saling bertentangan atas tanah yang saat itu dimandatkan ke Inggris dan oleh bangsa Yahudi diklaim sebagai tanah air leluhur mereka, dan di sisi lain gerakan Pan Arab menyatakan bahwa tanah tersebut adalah milik Palestina.Â
Konflik sektarian antara bangsa Yahudi dan Arab Palestina meningkat saat terjadi perang sipil pada 15 Mei 1948. Perang ini merupakan konflik senjata pertama antara Israel dan negara-negara tetangga Arab, dan kemudian di susul oleh konflik-konflik senjata lainnya.
Seperti pada 29 Oktober 1965, Israel dengan dukungan militer Inggris dan Perancis menginvansi Semenanjung Sinai, serangan Israel ke Mesir 5 Juni 1967, perang enam hari pada 5-10 Juni 1967 yang melibatkan Israel, Mesir, Suriah dan Yordania, yang diakhiri dengan kemenangan Israel yang berkonsekuensi pada eksodus 300 ribu warga Palestina yang dipaksa angkat kaki dari Tepi Barat dan 100 ribu warga Suriah yang dipaksa meninggalkan dataran tinggi Golan.Â
Pada akhir tahun 1967, pemimpin negara Arab melakukan pertemuan di Khartoum untuk membahas posisi terhadap Israel atas kemenenangan Israel dalam peperangan enam hari, dan disepakati bahwa tidak boleh ada pengakuan, perdamaian dan negosiasi dari negara-negara Arab dengan Israel. Konflik senjata selanjutnya adalah perang Attrisi yang dilancarkan oleh Mesir ke Israel dalam rangka merebut kembali Semenanjung Sinai dari tangan Israel, dan serangan Mesir dan Suriah kepada Israel pada 6 Oktober 1973, yang mendorong negara-negara Arab sepakat memberikan bantuan untuk memperkuat militer Mesir dan Suriah.
Pada tahun 2002, terdapat kesepakatan damai antara negara-negara Arab dengan Israel yang dikenal dengan Proposal Damai Arab tahun 2002, yang digagas Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz al-Saud. Proposal Damai tersebut dinilai memiliki makna historis di dunia Arab sebagai referensi penting dalam memecahkan problem penjajahan Israel terhadap Palestina. Proposal Damai tersebut menegaskan kesediaan dunia Arab dan Islam membuka hubungan diplomatik secara kolektif dengan Israel, dengan persyaratan berdirinya negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota Yerusalem Timur. Dalam perjanjian tersebut, Israel harus mematuhi hasil kesepakatan bersama untuk tidak melakukan invasi dan aneksasi terhadap wilayah Palestina, khususnya Jalur Gaza dan Tepi Barat; dan Palestina mempunyai hak istimewa untuk menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota Palestina dan Masjid al-Aqsha sepenuhnya di bawah otoritas Palestina. Namun, sejak kesepakatan bersejarah itu pula Israel melakukan invasi dan aneksasi terhadap dua wilayah utama Palestina, Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Lantas timbullah pertanyaan, apakah yang melatarbelakangi terjadinya normalisasi hubungan antara UEA, Bahrain dan Israel, padahal Palestina belum merdeka dan belum ada solusi yang jelas terkait dengan permasalahan Palestina?
Sekilas, Abraham Accord terlihat membawa keuntungan dalam bisnis, pariwisata, penerbangan langsung, dialog antar agama, hingga kerja sama sains dan teknologi. Namun di sisi lain juga terdapat peningkatan kerja sama keamanan dan stabilitas regional.
Menurut pengamat politik Timur Tengah, Zulhairi Misrawi (dikutip dari detik.com), normalisasi hubungan UEA dan Bahrain dengan Israel sebenarnya dalam rangka memberikan dukungan kepada Trump dalam Pilpres bulan November 2020 di AS. Keputusan damai tersebut diduga karena ada ketergantungan kedua negara itu dengan Amerika, dimana Amerika menyuplai senjata, teknologi militer, hingga intelijen kepada UEA dan Bahrain.Â
Hal senada juga dinyatakan oleh Guru Besar Kajian Timur Tengah Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Prof. Dr. Ibnu Burdah, MA (dikutip dari Kompas.com) yang mengatakan bahwa UEA dan Bahrain sepakat menormalisasi hubungan mereka dengan Israel karena tekanan dari Trump, mengingat AS adalah sekutu dekat kedua negara tersebut. Disamping itu, kedua negara tersebut juga harus memikirkan cara agar tetap memiliki pengaruh di Timur Tengah seiiring dengan menguatnya ekspansi Turki dan Iran. Â
Para pakar politik Timur Tengah meyakini normalisasi hubungan ini berkaitan dengan upaya bersama menghalau kekuatan Iran serta gerakan Islam politik yang dianggap dapat melemahkan kekuasaan para penguasa Arab pasca Arab Spring pada 2011 yang banyak mengubah peta geopolitik Dunia Arab, antara lain menguatnya pengaruh Iran dan Turki. Iran mempunyai pengaruh yang kuat di Irak, Suriah, Lebanon dan Yaman.Â
Sedangkan Turki yang dianggap sebagai pelindung Islam politik, ada di Libya, Suriah dan Irak. Arab Saudi, UEA, Mesir pasca-2013, Bahrain dan Israel adalah negara-negara yang berjuang keras menghalau gelombang revolusi diwilayahnya.
Faktor ekonomi juga merupakan faktor yang cukup menentukan dalam terjadinya normalisasi ini. Adanya hubungan diplomatik yang resmi antara negara-negara tersebut tentu akan disusul dengan pembukaan hubungan dagang antara Israel dengan UEA dan Bahrain secara besar-besaran.Â
Israel akan menjadi mitra dagang utama UEA, demikian sebaliknya. UEA sangat berminat membuka hubungan dagang dengan Israel khususnya di bidang teknologi. Bahkan perusahaan UEA, Apex Group sudah menandatangani kerjasama dengan perusahaan Israel, Tera, untuk riset dan produksi vaksin Covid-19.
Terjadinya normalisasi ini juga di sebabkan oleh faktor hubungan di antara Negara Teluk (seperti UEA dan Bahrain) dengan Israel memiliki karakter yang berbeda dengan negara Arab yang berbatas langsung dengan Israel. Dasar persoalan Negara Teluk dengan Israel hanyalah sebatas solidaritas terhadap sesama negara Arab.Â
Berbeda dengan negara-negara Arab yang berbatasan langsung dengan Israel, yang memiliki konflik secara langsung dan sering kali terlibat perang. UEA dan Bahrain tidak berbatasan dengan Israel, dan mereka tidak punya sengketa wilayah dan tidak terlibat perang bersama negara Arab melawan Israel pada tahun 1948, 1965, 1967 dan 1973.
Faktor-faktor diatas secara tidak langsung menjelaskan bahwa faktor ekonomi, stabilitas dan kepentingan negara masing-masing telah menjadi prioritas utama bagi negara-negara di Timur Tengah saat ini. Isu-isu primordial sudah mulai ditinggalkan untuk menyongsong peradaban baru yaitu kemakmuran dan kepentingan yang saling menguntungkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H