Kunjungan kami pun dilanjutkan ke Patung Buddha Tidur (Rupang Buddha Tidur) yang merupakan patung buddha terbesar di Indonesia. Patung ini memiliki panjang 22 meter, lebar 6 meter dan tinggi 4,5 meter. Namun, sebelum menuju ke tempat ini kami sempat diajak mengunjungi lokasi pembuatan kerajinan perunggu yang kami lihat pada saat berada di rumah Bapak Supriyadi. Berbagai macam hasil kerajinan berbahan perunggu dapat ditemui disini, seperti gantungan tempel, gagang pintu, dan hiasan-hiasan rumah dengan berbagai bentuk dan ukuran.
Sesampainya di Patung Buddha Tidur, jelas sekali terasa nuansa dan kekentalan budaya Buddha. Patung Buddha Tidur ini berdiri sejak tahun 1993. Dalam pembuatannya, patung ini melibatkan pematung dari berbagai daerah tak terkecuali dari Bejijong itu sendiri. Setelah selesai pembuatan, patung ini tidak langsung diberi warna melainkan sempat memakai warna asli semen. Hingga pada tahun 1999, barulah kemudian patung ini diberi warna kuning keemasan. Selain patung buddha tidur, disini juga terdapat miniatur dari tujuh bangunan keajaiban dunia yaitu Candi Borobudur. Sehingga pengunjung yang datang kesini tidak hanya melulu disuguhi patung Buddha tidur saja.
Meskipun tempat ini merupakan tempat ibadah umat Buddha, pihak pengelola tidak membatasi siapapun yang ingin berkunjung melihat patung tersebut selama pengunjung bisa menjaga perilaku dan tidak mengganggu. Tempat ini bukan hanya sekedar tempat ibadah saja, namun bisa dijadikan sarana edukasi untuk mengenalkan berbagai keragaman agama dan budaya yang ada di Indonesia.
Setelah mengunjungi Patung Budhha Tidur, perjalanan dilanjutkan menuju Candi Brahu. Selama perjalanan kami dipandu oleh rekan Bapak Supriadi selaku pengelola. Perjalanan terasa sangat memanjakan mata karena disisi kiri dan kanan terdapat ladang perkebunan serta persawahan milik warga. Candi Brahu merupakan salah satu bangunan peninggalan Kerajaan Majapahit. Bangunan yang memiliki ukuran 18 x 2 meter dan tingginya sekitar 25 meter ini dibangun menghadap ke arah Barat.
Tujuan terakhir kami adalah Museum Trowulan yang berlokasi di Jl. Pendopo Agung, Ngelinguk, Trowulan, Mojokerto. Museum ini menyimpan berbagai peninggalan dan artefak yang ditemukan di sekitar kawasan Trowulan. Dalam museum ini juga terdapat pajangan yang berisi informasi tentang Kisah Panji. Kisah Panji merupakan kumpulan kisah yang ada pada masa Kerajaan Kadiri dan populer pada masa Kerajaan Majapahit. Berbagai candi juga terdapat disekitar kawasan museum ini seperti candi tikus, candi kedaton dan candi wringin lawang.
Museum yang didirikan pada 24 April 1924 ini awalnya berupa yayasan yang bertujuan untuk meneliti peninggalan-peninggalan Majapahit. Ide ini diprakarsai oleh R.A.A. Kromodjojo Adinegoro mantan Bupati Mojokerto yang bekerja sama dengan Ir. Henry Maclaine Pont seorang Arsitek Belanda. Dalam Bahasa Belanda, tempat ini dulunya disebut Oudheidkundige Vereeneging Majapahit (OVM). Pada tahun 1942 museum ini sempat ditutup untuk umum karena Maclain Pont ditawan oleh Jepang. Setelah kejadian tersebut, museum beberapa kali berpindah tangan hingga yang terakhir dikelola oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang mengelola seluruh peninggalan kuno di wilayah Jawa Timur.
 Pada tahun 1987, museum dipindahkan ke tempat yang lebih luas berjarak 2 km dari tempat semula namun masih berada dalam situs Majapahit. Setelah dipindahkan, museum ini dikenal dengan nama Balai Penyelamatan Trowulan. Hingga pada 1 Januari 2007 diubah menjadi Pusat Informasi Majapahit. Selain bangunan candi,benda-benda purbakala lain yang dapat ditemui di museum ini adalah arca. Berbagai bentuk arca masih dapat kita lihat secara langsung disini. Selain itu juga terdapat mata uang kuno,koleksi keramik, guci yang terbuat dari tanah liat, dan berbagai macam Patung Hariti.
Selepas berkeliling di kawasan Museum Trowulan, maka berakhirlah agenda perjalanan Modul Nusantara kami. Dari berbagai tempat yang sudah dikunjungi, kita dapat melihat betapa Indonesia merupakan negara yang luar biasa. Bhinneka Tunggal  Ika bukan hanya sekedar semboyan saja, tapi itulah bangsa kita yang sebenarnya. Bangsa yang kuat karena keberagaman yang dimilikinya. Sudah selayaknya kita sebagai warga negara Indonesia juga ikut menjaga dan melestarikan warisan budaya yang ada agar tetap bisa dinikmati anak cucu kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H