Mohon tunggu...
Fitrah Tanpa Nama Belakang
Fitrah Tanpa Nama Belakang Mohon Tunggu... lainnya -

Aku ingin dibaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dan Aku Masih Saja Diam

18 Oktober 2013   00:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:24 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bandung, Juni 1925. Setelah empat kali berturut-turut pergelaran jaarbeurs diselenggarakan di selatan lapangan NIAU, kini festival tahunan ini digelar pula di dalam gedung yang baru selesai dibangun tahun ini. Gedungnya terletak persis di sebrang lapangan NIAU di jalan Menadostraat. Catnya berwarna putih mengkilat, bahkan lebih putih dari baju pantalon yang dipakai para pria Eropa di Hindia. Pada kedua sisi puncak gedungnya, menancap dua bendera tri warna. Tiga patung Torso Atlas berdiri pada ujung pilar seakan sedang menopang atap gedung. Nama yang tertera pada dinding gedung serupa dengan nama acara festival tahunannya, Jaarbeurs.

Meski digelar di dalam gedung, lapangan NIAU tetap ramai. Eropa, Indo, Tionghoa, dan Pribumi berbaur, bersenang-senang dengan cara mereka sendiri. Tenda-tenda yang menjajakan makanan hingga kerajinan tangan berderet di pinggir lapangan. Yang paling mencolok tentu saja para wanitanya. Mereka seolah berlomba menjadi yang paling bergaya. Kebanyakan dari mereka memakai baju terusan yang menggelembung di bagian pinggang kebawah. Pergelangan kakinya kelihatan, dan bahunya telanjang. Tak ketinggalan topi floppy berpita yang mereka pakai untuk mencegah sinar matahari menyentuh wajahnya. Juga sarung tangan yang memanjang hingga lengan.

Sialnya, aku tak bisa lama-lama menatap para wanita eropa itu. Miranti pasti menjewerku. Ya, aku datang bersama Mir. Dia tiba di Bandung dari Sukabumi sore kemarin bersama bapak dan ibunya. Kedatangannya memang terasa mengejutkan,  setelah delapan tahun kita tak bertemu. Berkirim surat pun nyaris tak pernah. Nama bapaknya Kartadikaria, ia seorang sinder perkebunan Goalpara. Ya, seorang pribumi dengan jabatan kepala bagian, pastilah dia orang hebat.

"Mir, coba lihat! Lebih ramai bukan? Bahkan keramaiannya lebih hebat daripada jika kau nonton klub sepak bola BIVB yang biasa main di alun-alun pada akhir pekan." Aku dan Mir berjalan di pinggir lapangan. Ia mengenakan kebaya encim hijau cerah. Kainnya yang menutupi hingga mata kaki membuatnya hanya bisa berjalan perlahan. Tapi karena berjalan perlahan itulah ia kelihatan lebih anggun. Tak jarang para lelaki menyempatkan melirik padanya ketika kita berjalan.

"Mas, kau tahu bukan tujuan kedatanganku dan orangtuaku ke Bandung?" Mir tak menggubris pekataanku sebelumnya. Ia menatapku dengan gelisah.

"Itu yang ingin aku tau"

"tak ingatkah kau mas?"

"coba kau ceritakan Mir"

Miranti menggelengkan kepalanya. "terlalu kau mas jika sedikitpun tak ingat. Delapan tahun lalu aku ada di Bandung mas. Sembilan usiaku pada saat itu. Tentu gedung menjulang di depan kita itu belum ada. Kau tahu persis kalau keluarga kita adalah kerabat dekat. Bapakmu yang meminta mas, ingatkah kau sekarang?"

Aku menggeleng "Minta apa Mir?"

"kau tahu mas"

"tidak"

"ayolah mas"

"ayolah Mir"

"Bapakmu minta besanan dengan bapakku mas"

Aku menghentikan langkahku. Mir yang sudah mendahuluiku dua langkah kemudian mundur lagi.

"Mir, aku adalah anak tunggal, kau juga. Kalau bapakku minta besanan, bukankah itu berarti kita akan dikawinkan?" Kulihat Miranti mengarahkan pandangannya ke dahiku. Barangkali ia melihat jidatku yang mengkerut.

"persis begitu mas"

"Tapi aku sama sekali tak ingat Mir, kita bahkan masih bocah waktu itu, dan kita tak pernah bertemu selama.. berapa... enam tahun? Tujuh?"

"Delapan mas"

"Coba kau pikir Mir, delapan tahun. Kau tak akan bilang itu sebentar bukan? Tak ada pula sepucuk surat darimu untukku. Tiba-tiba sekarang kau datang dan menginginkanku jadi suamimu"

"Kita memang sudah dijodohkan mas"

"Tapi Mir...Ah..." Aku mulai berjalan lagi dan ia mengikutiku.

Tak lama berselang, iring-iringan automobil berdatangan. Tepat di gerbang Gedung Jaarbeurs, mereka berhenti. Dari automobil paling depan, keluar seorang lelaki paruh baya. Semua rambutnya putih juga tipis sehingga bagian depan kepalanya agak botak. Ia berkacamata dengan bingkai bulat. Ia sunggingkan senyum dan melambai ke arah kerumunan orang yang mengitarinya. Tak bisa aku mendengar apa yang ia katakan, tapi dari air muka dan gerak tubuhnya kemungkinan sedang berpidato. Ia lalu menggunting pita, semua orang bertepuk tangan. Lelaki itu pun masuk ke dalam gedung.

"Siapa itu mas?"

Ah syukurlah. Rupanya kedatangan pria itu mengalihkan perhatian Mir soal perjodohan kita. Miranti, kau sungguh membuatku bingung. Aku berani jamin siapa saja lelaki yang dijodohkan denganmu pasti tak akan menolak. Warna kulitmu siapapun pasti akan suka, itulah kuning langsat. Bibirmu meski tak pakai gincu tetap kelihatan berkilauan, kata orang itulah merah neon. Mungkin aku bakal jadi lelaki beruntung jika bisa memperistrimu, tapi tak tahulah Mir, aku tak bisa.

"Walikota Bandung Mir, Bertus Coops"

"Soal kita mas?"

"Begini Mir, kan kita ini sedang pelesiran. Kita akan membicarakan soal itu di rumah. Tak keberatan kan kau Miranti yang cantik? Sekarang kita nikmati saja dulu liburan kita ini. Setahun sekali Mir, jaarbeurs ini. Di Sukabumi toh tak ada yang seperti ini bukan?" Mir lalu mengangguk, dan beberapa saat barulah kepalanya ia tegakkan lagi.

"Mas sepertinya ada yang memanggilmu"

Aku menoleh kebelakang, kupicingkan mata agar lebih jelas melihat pria yang berlari mendekatiku itu. Ah dia rupanya.

"Pancar, tunggulah aku, kau ini" Gijs terengah-engah. Ia membungkuk mencoba mengembalikan nafasnya lagi. "kupanggil tak menengok, kau ini." Katanya lagi dalam bahasa belanda.

"Tenanglah dulu kau Gijs, perut gendutmu itu megap-megap kalau kau kehabisan nafas." Ketika Gijs mulai tegak kembali, ia langsung menatap Mir, kemudian memandangku dan menyunggingkan senyum, mata birunya lalu mengarah lagi ke Mir.

"Siapa itu Pancar?" Nada bertanyanya terdengar mengejek

Aku pandang Gijs sejenak "Oh, Gijs, ini Miranti, Mir, ini Gijs, kawan sekolahku di THS"

Gijs menyodorkan lengan gempalnya. "Gijs Thijmen, senang bertemu dengan nyonya"

"senang bertemu dengan tuan, namaku Miranti" Mir menjawab dengan bahasa Belanda. Ia lalu menyambar tangan Gijs dan menjabatnya.

"Pacarmu Pancar? kau ini" Gijs, melangkah maju, menggoncangkan tubuhku dengan bahunya dan aku hampir roboh ditimpa tubuh gemuknya. "Lalu bagaimana dengan Roos hah? Kau ini" Ia tertawa dan belum sempat aku tinju perut busungnya, ia keburu berlalu tanpa mempertanggung jawabkan perkataannya.

"Kau bicara Belanda Mir? Dari mana kau belajar?"

"Siapa itu Roos?"

"Bukan siapa-siapa"

"Sudah kuduga mas, kau bukannya tak ingat bukan? Kau punya wanita lain bukan? Bilang saja iya mas. Percuma kau tutupi. Roos, Roos. Astaga bukankah itu nama Belanda? Memacari noni kau mas? Jelaslah kini mas. Pastilah kau memilih wanita Eropa itu dibandingkan pribumi sepertiku. Tentu saja kau pilih dia mas, lihat berjalan saja aku tak bisa cepat karena kain ini menghalangiku. Sedangkan wanita Eropa itu pastilah lebih luwes kan? Dan kau lebih suka wanita luwes daripada yang lambat sepertiku? Terjawab sudah semua mas."

Roos Jasmijn Veerle. Ia memang yang menjadi alasan utama mengapa rencana perjodohanku dan Mir tak aku inginkan. Ia putri guruku di THS. Dua tahun sudah aku punya hubungan dengannya, dan tiba-tiba Mir datang membawa kabar soal perjodohan. Bukannya aku tak suka kau Mir, aku sungguh kagum padamu. Lihatlah dirimu, kau wanita pribumi yang bukan hanya cantik, kau wanita yang cerdas. Bicara Belandamu tanpa terbata, dan mungkin kau bicara Inggris atau Perancis pula. Tapi aku tak bisa meninggalkan Roos begitu saja. Tak pernah aku sebimbang ini. Bukan saja aku dihadapkan pada pilihan dua wanita yang mempesona, tapi juga pada bapakku. Apa yang akan aku katakan padanya untuk membatalkan perjodohan ini? Apa aku mampu menolak keinginan bapakku? Membayangkannya saja sudah ngeri.

Aku jelaskan soal Roos pada Mir sejelas-jelasnya. Tak aku biarkan Mir menyelaku sewaktu aku bicara sebelum selesai semua penjelasanku. Miranti lebih banyak menunduk dan segan menatapku. Entahlah apa yang ada dibenaknya, apa yang dirasakan hatinya aku tak berani menduga-duga.

"Begitulah Mir, aku sudah jelaskan padamu apa adanya. Semua hal yang ingin kau tahu dan mungkin yang kau tak ingin tahu sudah kau dengar. Semuanya Mir. Lagipula kenapa kita harus membicarakannya di sini Mir? Aku katakan padamu bukankah kita sedang pelesiran? Tak mau aku melihatmu bersedih hati begitu."

"Mas, sudah aku tetapkan dalam hatiku kalau kaulah satu-satunya harapanku. Tak tahu lagi lah aku harus bagaimana kalau mas tak memperistriku. Kau tahu mas rumah gedong di perkebunan tempat bapakku bekerja? Ah pasti kau tak ingat mas. Di rumah gedong itu mas tinggal seorang Belanda. Tubuhnya tinggi besar, seperti Gijs itu lah, tetapi ia lebih jangkung dan perutnya tak segemuk Gijs. Bibirnya tebal mas dan kumisnya panjang juga meruncing pada ujungnya. Selalu dibawanya tongkat dari akar bahar ketika sedang mengawasi pegawai di perkebunan. Dialah Administratur Perkebunan Goalpara, Tuan Finn. Dapat bisik aku dari warga kampung kalau jabatan yang diberikan Tuan Finn pada bapakku tidaklah gratis. Kau tahu kan mas arti ini semua? Iya mas, ia menginginkan aku. Jangan kau kira aku akan diperistrinya dengan sah mas, aku akan digundiknya. Tak terbayangkan aku bila menjadi gundik mas. Tak mau aku. Tuan Finn bilang kalau ia akan urung mengambilku jika dalam waktu dua minggu ini aku bisa mendapatkan suami. Ibuku ingat kalau delapan tahun lalu bapakmu mas meminta besanan dengan keluarga kami. Ibuku lalu berkirim surat kepada keluargamu. Dan balasan surat dari bapakmu itu mas yang bikin aku punya harapan. Ia setuju merampungkan rencana perjodohan kita yang delapan tahun lalu sudah dibicarakan. Ah begitu bahagianya aku mas kala itu. Bagaimana tidak, aku akan terbebas dari menjadi seorang gundik. Aku hanya ingin diperistri dengan sah mas, oleh lelaki yang aku cintai, dan Tuan Finn itu sama sekali tak aku cinta. Ia pun sama aku rasa tak cinta aku. Ia hanya bernafsu atas tubuhku mas. Ia ingin aku jadi gundiknya. Gundik mas, aku tak mau. Saat harapan itu aku terus pupuki hingga subur sudah, kini hari ini harapanku ada di depan mataku. Tapi justru kini harapan itu layu, tidak, tidak... harapan itu mati, sudah jadi bangkai pula, dan aku akan jadi gundik."

Diantara ratusan orang yang bersenang-senang di lapangan, pastilah hanya aku dan Mir yang muram. Bahkan pipi Mir sudah basah oleh kucuran air matanya. Dan meski Mir sudah panjang lebar bercerita, aku masih saja tak bicara. Malang benar kau Mir, wanita belia dan cantik sepertimu hanya akan berakhir menjadi gundik administratur yang memang kesohor gemar menggundik wanita pribumi. Maafkan aku Mir, aku tak bisa berbuat apa. Aku cinta Roos. Mir menyeka air matanya, dan aku masih tak berkata. Ia lalu memalingkan muka, perlahan melangkah dan menjauh dariku. Ia berjalan kearah jalan raya, kali ini langkahnya lebih cepat. Ia panggil taksi kemudian pergi. Dan aku masih saja diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun