Mohon tunggu...
Fitrah Tanpa Nama Belakang
Fitrah Tanpa Nama Belakang Mohon Tunggu... lainnya -

Aku ingin dibaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dan Aku Masih Saja Diam

18 Oktober 2013   00:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:24 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tapi Mir...Ah..." Aku mulai berjalan lagi dan ia mengikutiku.

Tak lama berselang, iring-iringan automobil berdatangan. Tepat di gerbang Gedung Jaarbeurs, mereka berhenti. Dari automobil paling depan, keluar seorang lelaki paruh baya. Semua rambutnya putih juga tipis sehingga bagian depan kepalanya agak botak. Ia berkacamata dengan bingkai bulat. Ia sunggingkan senyum dan melambai ke arah kerumunan orang yang mengitarinya. Tak bisa aku mendengar apa yang ia katakan, tapi dari air muka dan gerak tubuhnya kemungkinan sedang berpidato. Ia lalu menggunting pita, semua orang bertepuk tangan. Lelaki itu pun masuk ke dalam gedung.

"Siapa itu mas?"

Ah syukurlah. Rupanya kedatangan pria itu mengalihkan perhatian Mir soal perjodohan kita. Miranti, kau sungguh membuatku bingung. Aku berani jamin siapa saja lelaki yang dijodohkan denganmu pasti tak akan menolak. Warna kulitmu siapapun pasti akan suka, itulah kuning langsat. Bibirmu meski tak pakai gincu tetap kelihatan berkilauan, kata orang itulah merah neon. Mungkin aku bakal jadi lelaki beruntung jika bisa memperistrimu, tapi tak tahulah Mir, aku tak bisa.

"Walikota Bandung Mir, Bertus Coops"

"Soal kita mas?"

"Begini Mir, kan kita ini sedang pelesiran. Kita akan membicarakan soal itu di rumah. Tak keberatan kan kau Miranti yang cantik? Sekarang kita nikmati saja dulu liburan kita ini. Setahun sekali Mir, jaarbeurs ini. Di Sukabumi toh tak ada yang seperti ini bukan?" Mir lalu mengangguk, dan beberapa saat barulah kepalanya ia tegakkan lagi.

"Mas sepertinya ada yang memanggilmu"

Aku menoleh kebelakang, kupicingkan mata agar lebih jelas melihat pria yang berlari mendekatiku itu. Ah dia rupanya.

"Pancar, tunggulah aku, kau ini" Gijs terengah-engah. Ia membungkuk mencoba mengembalikan nafasnya lagi. "kupanggil tak menengok, kau ini." Katanya lagi dalam bahasa belanda.

"Tenanglah dulu kau Gijs, perut gendutmu itu megap-megap kalau kau kehabisan nafas." Ketika Gijs mulai tegak kembali, ia langsung menatap Mir, kemudian memandangku dan menyunggingkan senyum, mata birunya lalu mengarah lagi ke Mir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun