Judul Buku: Filosofi Teras, Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini. Penulis: Henry Manampiring. Tahun Terbit: 2019. Penerbit: Penerbit Buku Kompas. Hal: 312 halaman.
Filosofi Teras merupakan sebutan lain dari Filsafat Stoisisme. Yakni, salah satu cabang filsafat Yunani-Romawi Kuno (sekitar 300 tahun SM). Filsafat Stoisisme sendiri mulanya dikembangkan oleh Zeno, seorang filsuf yang awalnya merupakan seorang saudagar kaya raya di Siprus (sebuah pulau di Selatan Turki).
Sebelum menjadi seorang filsuf, suatu kali, dalam perjalanan dagangnya, kapal Zeno karam di perairan Mediterania. Semua barang bawaannya tenggelam. Tetapi, Zeno berhasil menyelematkan diri dan kemudian terdampar di sebuah daerah bernama Athena, tempat para filsuf-filsuf terkenal di dunia.
Di Athena, suatu kali, Zeno mengunjungi salah satu toko buku dan menemukan sebuah buku filsafat yang menarik perhatiannya. Kemudian, ia bertanya kepada pemilik toko, dimanakah ia bisa bertemu dengan filsuf-filsuf seperti penulis buku tersebut.
Kebetulan, saat itu melintaslah Crates, seorang filsuf beraliran Cynic atau yang lebih dikenal sekarang dengan Filsafat Sinisme. Pemilik toko lalu menunjuk kepadanya. Kemudian Zeno pun mengikutinya dan belajar filsafat darinya.
Setelah ditambah belajar dengan filsuf-filsuf lainnya, barulah Zeno menemukan filsafatnya sendiri dan mulai mengembangkannya dengan mengajarkannya di teras-teras bertiang (dalam bahasa Yunani disebut Stoa), semacam alun-alun Yunani Kuno.Â
Sejak itu, pengikutnya disebut "kaum Stoa". Dan, karena itulah Henry Manampiring atau Om Piring menamai Filsafat Stoisisme ini dengan Filosofi Teras, lalu menerbitkan buku Filosofi Teras.
Filsafat ini merupakan filsafat yang relevan yang bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, way of life. Dalam buku ini juga ada panduan cara mempraktikkannya. Dalam arti kata lain, filsafat ini tidak hanya teori yang abstrak dan rumit akan tetapi ia juga merupakan salah satu cara pandang dalam berkehidupan.
Filsafat Stoa mengajarkan bagaimana untuk 'hidup selalu selaras dengan alam' (bab tiga). Kita tidak perlu mengkhawatirkan segala sesuatu yang terjadi apalagi yang belum terjadi pada diri kita. Kita harus menanggapi peristiwa-peristiwa yang menimpa kita dengan cara menggunakan nalar bukan emosi.
Contoh kecil, kena macet, keinjak kotoran ayam, ketiban kotoran burung atau makan kacang ternyata isinya tanah. Contoh lain, kenapa saya bisa bertemu dengan orang menyebalkan ini, mengapa saya tertimpa musibah.Â
Yang lebih berat, mempertanyakan kenapa saya bisa lahir dalam keadaan finansial seperti ini, apalagi mempertanyakan kenapa kita lahir  ke dunia ini.